KOMPAS/RIZA FATHONI---Pedagang di Pasar Binaan Warga, Jatibaru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, memotret baju dengan ponsel untuk pemasaran daring agar dapat terus menjalankan usaha di tengah kebijakan pembatasan sosial berskala besar yang masih berlaku di DKI Jakarta, Senin (1/6/2020).
Pandemi Covid-19 melahirkan fenomena ekonomi dari rumah. Perubahan perilaku konsumen membuka peluang sekaligus menuntut pelaku usaha beradaptasi.
Pandemi Covid-19 telah menggeser sebagian aktivitas ekonomi ke tempat tinggal masyarakat. Pembatasan gerak dam tuntutan menjaga jarak fisik membentuk kebiasaan baru yang mendorong lahirnya ”ekonomi dari rumah”. Salah satu celah mengungkit pemulihan ekonomi nasional.
Fenomena itu oleh sejumlah lembaga disebut dengan istilah stay at home economy atau ekonomi yang digerakkan oleh pelaku dari rumah. Ada sejumlah tren yang menandai fenomena itu, antara lain percepatan adopsi digital, belanja daring, serta bekerja, belajar, olahraga, dan hiburan di rumah.
Lembaga riset Inventure dalam laporan ”Consumer Behavior New Normal After Covid-19: The 30 Predictions” menyebut, gaya hidup untuk tetap berada di rumah menjadi pergeseran besar (megashift) dalam perilaku konsumen.
Managing Partner Inventure, Yuswohady, saat dihubungi Jumat pekan lalu, menyatakan, perubahan perilaku konsumen membuat tempat tinggal menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi, baik di sisi permintaan maupun penawaran. ”Stay at home economy menjadi langkah adaptasi masyarakat dalam menggerakkan pekonomian di tengah pandemi,” ujarnya.
Menurut dia, aktivitas ekonomi yang membutuhkan kehadiran fisik akan menghadapi tantangan untuk tumbuh selama pandemi Covid-19, seperti pariwisata dan perhotelan, pameran dan pertemuan, penerbangan, serta ritel dan perbelanjaan luring.
Sebaliknya, kegiatan ekonomi dengan sentuhan fisik rendah diperkirakan tumbuh, seperti bisnis logistik dan pengantaran, layanan siaran langsung, e-dagang dan jual-beli kebutuhan sehari-hari, olahraga di rumah, media dan telekomunikasi, serta farmasi.
Kekhawatiran
Kini, ketika pemerintah telah melonggarkan pergerakan masyarakat, aktivitas ekonomi dari rumah masih terjadi, terutama karena masih ada kekhawatiran warga bakal terpapar virus korona baru. Situasi ini menandakan fenomena ekonomi dari rumah akan berlanjut.
Tren mobilitas di permukiman pada 21 Juli 2020, menurut Laporan Mobilitas Masyarakat Selama Pandemi Covid-19 oleh Google, naik 12 persen dibandingkan dasar pengukuran (baseline), yakni nilai median untuk hari yang sesuai dalam sepekan selama periode 3 Januari-6 Februari 2020.
DASEP BADRUSALAM UNTUK KOMPAS---Berbagai sayuran dari hasil panen petani di Kampung Dayeuh Manggung, Desa Sindang Mekar, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, Jawa Barat, ditampung di kedai teh milik Dasep. Di tengah pandemi, berkurangnya permintaan sayur ke pasar melahirkan inovasi pemasaran daring.
Adapun tren pergerakan orang di tempat kerja turun 23 persen, di pusat transportasi umum turun 36 persen, serta di tempat ritel dan rekreasi turun 18 persen dibandingkan dasar pengukuran. Hal ini menunjukkan, meski ada pelonggaran pembatasan, warga masih memilih untuk beraktivitas di tempat tinggal.
Perusahaan riset pasar, Kantar, menyebut, konsumen Indonesia tetap cemas tentang apa yang disebut normal baru meski ada pelonggaran. Survei pada 9-19 Juni 2020 menemukan 46 persen dari 4.000 lebih responden masih khawatir untuk keluar rumah. Angka ini naik dibandingkan suvei sebelumnya, pada 4-8 Juni 2020, yang 40 persen.
Tingkat kecemasan orang Indonesia masih tinggi. Menurut meteran kecemasan Covid-19 milik Kantar, responden yang menyatakan khawatir meningkat, yakni dari 43 persen pada pertengahan Maret 2020 jadi 68 persen pada pertengahan Juni 2020. Hal ini menunjukkan, meski ada pelonggaran, lebih banyak orang Indonesia memilih untuk tinggal di rumah.
Survei lembaga riset Mckinsey pada 19-21 Juni 2020 menunjukkan, pergeseran perilaku konsumen dari luring jadi daring di Indonesia ini diprediksi akan bertahan untuk waktu yang lama, bahkan setelah pandemi Covid-19 berlalu.
Dari 726 responden yang diteliti, 92 persen telah mencoba cara berbelanja yang baru sejak pandemi muncul. Bentuknya, 58 persen responden memilih berbelanja secara daring, 48 persen berbelanja dengan metode drive thru atau curb side pick-up di mana pembeli tidak usah masuk ke dalam toko, dan 37 persen beralih membeli produk dengan merk lain karena mengutamakan keamanan produk.
Sebanyak 71 persen responden menyatakan akan tetap menggunakan jasa pesan-antar kebutuhan sehari-hari (groceries) setelah Covid-19, 66 persen akan tetap berbelanja daring tetapi mengambil produk sendiri lewat fasilitas curb side pick-up, dan 84 persen responden akan tetap memakai jasa pesan-antar makanan restoran.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA---Warga melihat laman www.pahlawanekonomi.com yang dibuat oleh pelaku UKM se-Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/2/2015). Laman yang berfungsi sebagai promosi serta pemasaran berbagai produk UKM telah menaikkan omzet penjualan hingga 20 persen.
Pergeseran konsumen ke daring dimanfaatkan oleh sebagian pelaku usaha untuk pindah ke marketplace. Menurut Executive Vice President Consumer Goods Blibli Fransisca K Nugraha, pada masa pembatasan sosial berskala besar atau tepatnya April 2020, jumlah penjual di Blibli meningkat 90 persen dibandingkan tahun sebelumnya. ”Artinya, e-dagang jadi saluran yang memungkinkan penjual terus menjangkau pelanggan dan mempertahankan bisnisnya,” ujarnya.
Di Tokopedia, menurut External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya, terdapat 8,6 juta penjual dengan 94 persen di antaranya tergolong usaha ultramikro. Angka itu meningkat 19,4 persen dibandingkan posisi pada Januari 2020 yang tercatat 7,2 juta penjual.
Peluang UMKM
Para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), kata Yuswohady, berpeluang memanfaatkan momentum ekonomi dari rumah. Namun, pelaku usaha mesti memanfaatkan teknologi digital, pilar utama penopang ekonomi dari rumah. Salah satu contoh yang paling sederhana ialah menawarkan dan memasarkan produk melalui aplikasi obrolan, seperti Whatsapp, di kelompok-kelompok pertemanannya.
Menurut Menteri Koperas dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki, fenomena stay at home economy merupakan kesempatan yang baik bagi pelaku UMKM untuk tumbuh. Namun, selain terhubung ke ekosistem digital, para pelaku dituntut untuk beradaptasi dan berinovasi untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Para pemilik warung makan dan restoran, misalnya, bisa memanfaatkan peralihan konsumen ke kanal daring dengan merubah produknya dari makanan siap saji ke makanan beku, setengah jadi, atau siap olah. Mereka juga memindahkan tempat jualan ke lapak-lapak daring di marketplace atau aplikasi layanan pesan antar makanan.
Inovasi juga ditempuh sejumlah pengusaha batih di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di awal pandemi Covid-19, mereka terpuruk karena penjualan anjlok. Namun, mereka menangkap peluang dan bangkit dengan memproduksi piyama, celana pendek, pakaian olahraga, dan pakaian rumahan yang permintaannya naik.
Oleh M PASCHALIA JUDITH J/AGNES THEODORA/C ANTO SAPTOWALYONO
Editor: MUKHAMAD KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 27 Juli 2020
Pandemi Covid-19 melahirkan fenomena ekonomi dari rumah. Perubahan perilaku konsumen membuka peluang sekaligus menuntut pelaku usaha beradaptasi.
Pandemi Covid-19 telah menggeser sebagian aktivitas ekonomi ke tempat tinggal masyarakat. Pembatasan gerak dam tuntutan menjaga jarak fisik membentuk kebiasaan baru yang mendorong lahirnya ”ekonomi dari rumah”. Salah satu celah mengungkit pemulihan ekonomi nasional.
Fenomena itu oleh sejumlah lembaga disebut dengan istilah stay at home economy atau ekonomi yang digerakkan oleh pelaku dari rumah. Ada sejumlah tren yang menandai fenomena itu, antara lain percepatan adopsi digital, belanja daring, serta bekerja, belajar, olahraga, dan hiburan di rumah.
Lembaga riset Inventure dalam laporan ”Consumer Behavior New Normal After Covid-19: The 30 Predictions” menyebut, gaya hidup untuk tetap berada di rumah menjadi pergeseran besar (megashift) dalam perilaku konsumen.
Managing Partner Inventure, Yuswohady, saat dihubungi Jumat pekan lalu, menyatakan, perubahan perilaku konsumen membuat tempat tinggal menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi, baik di sisi permintaan maupun penawaran. ”Stay at home economy menjadi langkah adaptasi masyarakat dalam menggerakkan pekonomian di tengah pandemi,” ujarnya.
Menurut dia, aktivitas ekonomi yang membutuhkan kehadiran fisik akan menghadapi tantangan untuk tumbuh selama pandemi Covid-19, seperti pariwisata dan perhotelan, pameran dan pertemuan, penerbangan, serta ritel dan perbelanjaan luring.
Sebaliknya, kegiatan ekonomi dengan sentuhan fisik rendah diperkirakan tumbuh, seperti bisnis logistik dan pengantaran, layanan siaran langsung, e-dagang dan jual-beli kebutuhan sehari-hari, olahraga di rumah, media dan telekomunikasi, serta farmasi.
Kekhawatiran
Kini, ketika pemerintah telah melonggarkan pergerakan masyarakat, aktivitas ekonomi dari rumah masih terjadi, terutama karena masih ada kekhawatiran warga bakal terpapar virus korona baru. Situasi ini menandakan fenomena ekonomi dari rumah akan berlanjut.
Tren mobilitas di permukiman pada 21 Juli 2020, menurut Laporan Mobilitas Masyarakat Selama Pandemi Covid-19 oleh Google, naik 12 persen dibandingkan dasar pengukuran (baseline), yakni nilai median untuk hari yang sesuai dalam sepekan selama periode 3 Januari-6 Februari 2020.
DASEP BADRUSALAM UNTUK KOMPAS---Berbagai sayuran dari hasil panen petani di Kampung Dayeuh Manggung, Desa Sindang Mekar, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, Jawa Barat, ditampung di kedai teh milik Dasep. Di tengah pandemi, berkurangnya permintaan sayur ke pasar melahirkan inovasi pemasaran daring.
Adapun tren pergerakan orang di tempat kerja turun 23 persen, di pusat transportasi umum turun 36 persen, serta di tempat ritel dan rekreasi turun 18 persen dibandingkan dasar pengukuran. Hal ini menunjukkan, meski ada pelonggaran pembatasan, warga masih memilih untuk beraktivitas di tempat tinggal.
Perusahaan riset pasar, Kantar, menyebut, konsumen Indonesia tetap cemas tentang apa yang disebut normal baru meski ada pelonggaran. Survei pada 9-19 Juni 2020 menemukan 46 persen dari 4.000 lebih responden masih khawatir untuk keluar rumah. Angka ini naik dibandingkan suvei sebelumnya, pada 4-8 Juni 2020, yang 40 persen.
Tingkat kecemasan orang Indonesia masih tinggi. Menurut meteran kecemasan Covid-19 milik Kantar, responden yang menyatakan khawatir meningkat, yakni dari 43 persen pada pertengahan Maret 2020 jadi 68 persen pada pertengahan Juni 2020. Hal ini menunjukkan, meski ada pelonggaran, lebih banyak orang Indonesia memilih untuk tinggal di rumah.
Survei lembaga riset Mckinsey pada 19-21 Juni 2020 menunjukkan, pergeseran perilaku konsumen dari luring jadi daring di Indonesia ini diprediksi akan bertahan untuk waktu yang lama, bahkan setelah pandemi Covid-19 berlalu.
Dari 726 responden yang diteliti, 92 persen telah mencoba cara berbelanja yang baru sejak pandemi muncul. Bentuknya, 58 persen responden memilih berbelanja secara daring, 48 persen berbelanja dengan metode drive thru atau curb side pick-up di mana pembeli tidak usah masuk ke dalam toko, dan 37 persen beralih membeli produk dengan merk lain karena mengutamakan keamanan produk.
Sebanyak 71 persen responden menyatakan akan tetap menggunakan jasa pesan-antar kebutuhan sehari-hari (groceries) setelah Covid-19, 66 persen akan tetap berbelanja daring tetapi mengambil produk sendiri lewat fasilitas curb side pick-up, dan 84 persen responden akan tetap memakai jasa pesan-antar makanan restoran.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA---Warga melihat laman www.pahlawanekonomi.com yang dibuat oleh pelaku UKM se-Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/2/2015). Laman yang berfungsi sebagai promosi serta pemasaran berbagai produk UKM telah menaikkan omzet penjualan hingga 20 persen.
Pergeseran konsumen ke daring dimanfaatkan oleh sebagian pelaku usaha untuk pindah ke marketplace. Menurut Executive Vice President Consumer Goods Blibli Fransisca K Nugraha, pada masa pembatasan sosial berskala besar atau tepatnya April 2020, jumlah penjual di Blibli meningkat 90 persen dibandingkan tahun sebelumnya. ”Artinya, e-dagang jadi saluran yang memungkinkan penjual terus menjangkau pelanggan dan mempertahankan bisnisnya,” ujarnya.
Di Tokopedia, menurut External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya, terdapat 8,6 juta penjual dengan 94 persen di antaranya tergolong usaha ultramikro. Angka itu meningkat 19,4 persen dibandingkan posisi pada Januari 2020 yang tercatat 7,2 juta penjual.
Peluang UMKM
Para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), kata Yuswohady, berpeluang memanfaatkan momentum ekonomi dari rumah. Namun, pelaku usaha mesti memanfaatkan teknologi digital, pilar utama penopang ekonomi dari rumah. Salah satu contoh yang paling sederhana ialah menawarkan dan memasarkan produk melalui aplikasi obrolan, seperti Whatsapp, di kelompok-kelompok pertemanannya.
Menurut Menteri Koperas dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki, fenomena stay at home economy merupakan kesempatan yang baik bagi pelaku UMKM untuk tumbuh. Namun, selain terhubung ke ekosistem digital, para pelaku dituntut untuk beradaptasi dan berinovasi untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Para pemilik warung makan dan restoran, misalnya, bisa memanfaatkan peralihan konsumen ke kanal daring dengan merubah produknya dari makanan siap saji ke makanan beku, setengah jadi, atau siap olah. Mereka juga memindahkan tempat jualan ke lapak-lapak daring di marketplace atau aplikasi layanan pesan antar makanan.
Inovasi juga ditempuh sejumlah pengusaha batih di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di awal pandemi Covid-19, mereka terpuruk karena penjualan anjlok. Namun, mereka menangkap peluang dan bangkit dengan memproduksi piyama, celana pendek, pakaian olahraga, dan pakaian rumahan yang permintaannya naik.
Oleh M PASCHALIA JUDITH J/AGNES THEODORA/C ANTO SAPTOWALYONO
Editor: MUKHAMAD KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 27 Juli 2020
No comments:
Post a Comment