Friday, July 24, 2020

Mariyah, Penjaga Cita Rasa Kupat Tahu Gempol yang Legendaris

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA---Mariyah (77), penjual kupat tahu Gempol di Kota Bandung, Jawa Barat.

Siapa tak kenal Kupat Tahu Gempol, salah satu kuliner legendaris di Kota Bandung? Mariyah, sosok berusia 77 tahun ini, dengan setia menjaga citarasa kupat tahu tersebut sejak 55 tahun lalu.

Berdiri sejak 55 tahun lalu, kupat tahu gempol menjelma menjadi salah satu ikon kuliner tradisional Kota Bandung, Jawa Barat. Lokasinya di kaki lima, tetapi rasanya menancap di lidah dan dikenal hingga mancanegara. Mariyah (77), menjaga cita rasa kuliner legendaris itu tetap istimewa.


Antrean pembeli di depan lapak kupat tahu gempol mewarnai suasana pagi di Jalan Gempol Kulon, Kota Bandung, Sabtu (4/7/2020). Hampir setiap hari orang-orang rela berdiri berjejer demi menikmati potongan tahu, lontong, dan toge yang disiram bumbu kacang racikan Mariyah itu.

Lokasinya terselip di tengah permukiman padat penduduk di sisi barat Gedung Sate. Rasanya yang khas membuat kuliner ini terus diburu, tidak hanya oleh warga Bandung, tetapi juga wisatawan domestik dan mancanegara. Di hari biasa, pembelinya tidak kurang dari 700 orang. Sementara di akhir pekan dan masa liburan, jumlah pembeli bisa melonjak dua kali lipat.

Kupat tahu gempol dijual Rp 18.000 per porsi. Omzetnya tidak kurang dari Rp 12,6 juta per hari. Omzet yang relatif cukup besar untuk pedagang kuliner jalanan.

Akan tetapi, hal itu tak membuat Mariyah, pemiliknya, memilih duduk nyaman di rumah menikmati hari tua. Demi menjaga kualitas kuliner dagangannya, ia masih memegang kendali pengolahan bumbu di dapur.

Mariyah menyadari, kupat tahu gempol sudah sangat akrab dengan lidah pelanggan. “Di sini banyak pelanggan setia. Jadi, bahan makanan dan bumbunya dipertahankan sama seperti dahulu. Saya tetap ikut di dapur untuk memastikan rasanya tidak berubah,” ujarnya.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA---Antrean pembeli kupat tahu Gempol di Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (4/7/2020).

Bahan-bahan yang ia gunakan tak banyak berubah. kupat tahu gempol menggunakan tahu dari Cibuntu, Kelurahan Warung Muncang, Bandung. Kawasan ini merupakan sentra pembuatan tahu sejak puluhan tahun lalu. Tahu Cibuntu menggunakan pengawet alami dari kunyit. Teksturnya lembut dan tidak berbau. Rasanya pun gurih.

Di Cibuntu, terdapat lebih dari 50 pengrajin tahu. Namun, Mariyah hanya membeli tahu dari pengrajin yang kualitasnya dianggap paling baik. “Sejak dahulu beli tahu dari tempat Pak Haji Uha. Beliau sudah meninggal dan usahanya diteruskan oleh anaknya, Pak Deden,” ucapnya.

Sementara toge, cabai, bawang merah, bawang putih, dan beras sebagai bahan pembuat lontong, dibeli dari pasar di Bandung. Salah satu “senjata” kupat tahu gempol adalah kelezatan bumbu kacangnya. Mariyah memakai kacang tanah Tuban yang dibeli dari pedagang di sekitar Gempol.

Untuk memperkaya aroma, kupat tahu yang telah disiram bumbu kacang ditaburi bawang goreng Sumenep. Menurut Mariyah, bawang dari Sumenep lebih wangi dan renyah dibandingkan bawang merah biasa.

Kerupuk kemplang berwarna merah menjadi ciri khas lainnya. Bahannya terbuat dari parutan singkong yang digoreng dengan tingkat kematangan tertentu sehingga sangat renyah.

“Kerupuk ini termasuk yang paling disukai. Tidak jarang pembeli minta tambah kerupuknya, meskipun lontong dan tahunya sudah habis,” ujarnya.

Menghidupi keluarga
Kupat tahu gempol berdiri sejak 1965. Namun, Mariyah baru mengelolanya mulai 1975. Sebelumnya, usaha tersebut dikelola oleh kakak iparnya, Hajar Hasanah.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA---Kupat tahu gempol di Kota Bandung, Jawa Barat.

Akan tetapi, sejak awal, yang meracik bumbunya adalah Achdan (almarhum), suami Mariyah. Mereka meneruskan usaha itu karena sejak 1975 Hasanah fokus mengelola kantin di salah satu perkantoran di Jalan Asia Afrika, Bandung.

Pilihan Mariyah meneruskan usaha itu tidak keliru. Dari berjualan kupat tahu, ia bisa membiayai pendidikan ketujuh anaknya hingga kuliah. “Saya hanya tamat SD. Alhamdulillah anak-anak bisa kuliah. Semua karena kepercayaan pelanggan kupat tahu,” ujarnya.

Mariyah menyadari, penjualan kupat tahu menjadi penopang utama ekonomi keluarganya. Oleh sebab itu, dia sangat menjaga hubungan baik dengan para pelanggan.

Beberapa kali pelanggan datang terlalu siang. Sementara jam operasional dagangannya berlangsung pukul 06.00-12.00. “Pernah pelanggan datang pukul 14.00 tetap dilayani. Meskipun lapak dagangan sudah tutup, kami antar kupat tahunya dari rumah,” ujarnya. Rumah kontrakannya berjarak 100 meter dari lokasi berjualan.

Lewat kupat tahu pula Mariyah mempekerjakan belasan orang, yang sebagian besar masih keluarganya. Mereka membantu mulai dari proses produksi hingga penjualan.

Akan tetapi, Mariyah tidak lepas tangan begitu saja. Setiap hari, ia bangun pukul 02.30 untuk memastikan banyak hal, di antaranya tingkat kematangan lontong dan kekentalan bumbu kacang.

“Semuanya harus dicek agar rasanya tidak mengecewakan pelanggan. Saya tidak bisa melewatkan bagian ini,” ujarnya.

Dengan usia lebih dari setengah abad, kupat tahu Gempol sudah memiliki merek dagang yang kuat. Modal itu dimanfaatkan untuk megembangkan bisnisnya dengan membuka empat cabang penjualan di Kota Bandung, yaitu di Cigadung, Arcamanik, Batununggal, dan Jalan Setiabudi.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA---Tahu Cibuntu yang digunakan untuk kupat tahu Gempol di Kota Bandung, Jawa Barat.

Akan tetapi, Mariyah belum berencana membuka cabang usaha di luar Bandung. “Biarlah kupat tahu Gempol menjadi ciri khas Bandung. Jadi, kalau mau makan, silakan datang ke Bandung. Dengan begitu, sekaligus bisa menjadi wisata kuliner,” ujarnya.

Duta kuliner
Kelezatan kupat tahu Gempol tidak hanya tersiar di Bandung atau Jabar. Cita rasanya sudah dikenal lewat berbagai ajang pameran kuliner di berbagai kota di Indonesia, bahkan hingga tingkat dunia.

April 2015, kupat tahu Gempol dipilih mewakili kuliner khas Indonesia dalam World Street Food Congress 2015 di Kawasan Bugis, Singapura. Tiga kuliner legendaris Indonesia lainnya, yaitu Gudeg Yu Nap dari Bandung, Ayam Taliwang (Lombok, Nusa Tenggara Barat), dan Soto Ambengan Pak Sadi (Surabaya, Jawa Timur) juga ikut diusung Kecap Bango dalam ajang itu.

Mariyah tidak hadir dalam festival makanan jalanan itu. Namun, ia menyiapkan bahan mentah bumbu kupat tahu yang dibawa ke Singapura oleh anak kelimanya, Nuraini (50).

Nuraini menuturkan, dalam ajang itu, setiap peserta diminta menyiapkan 100 porsi per hari selama lima hari. Tak hanya warga negara Indonesia, warga asing lain pun ikut memburu kupat tahu gempol.

“Bahkan, hanya dalam dua jam sudah ludes semua. Ini terjadi hampir setiap hari sehingga stand berjualan kami selalu ramai,” ujarnya.

Meskipun tidak melihat dan merasakan secara langsung, Mariyah mengaku sangat bangga. Kupat tahu gempol yang terselip di tengah kepadatan “Kota Kembang” itu bisa mewakili kekayaan kuliner Indonesia.

Di usia senja, Mariyah tidak bisa menjamin sampai kapan bertahan bergelut didapur untuk mempertahankan usahanya. Namun, kegigihannya telah membuktikan, konsistensi menjaga kualitas cita rasa bisa mengangkat kuliner kaki lima ke panggung dunia.

Mariyah

Lahir: Tasikmalaya, 15 Maret 1943

Pendidikan: Sekolah Dasar

Suami: Achdan (Almarhum)

Anak: 7

Oleh  TATANG MULYANA SINAGA

Editor  DAHONO FITRIANTO, BUDI SUWARNA

Sumber: Kompas, 25 Juli 2020

No comments:

Post a Comment