Wednesday, July 11, 2018

Septi Ariyani Membuat Wangi Garam Cirebon

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI--Septi Ariyani

Di tangan Septi Ariyani (36), garam Cirebon disulap menjadi bahan terapi kesehatan dan kecantikan. Harga garam yang rendah dan kerap anjlok pun jadi punya nilai tambah. Kini, garam Cirebon juga bisa dijumpai di tempat ”spa” dengan aroma yang mewangi, tak hanya berasa asin dan tersempil di dapur.

Bau ikan asin di Jembatan Bondet, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, awal Juli lalu, sontak hilang ketika sampai di depan Galeri Rama Shinta milik Septi yang berjarak belasan meter dari jembatan. Aroma melati dan lemon menyeruak dari galeri yang juga berada di rumahnya. Saking harumnya, bau oli bekas bengkel di depan rumahnya tak tercium.


Aroma itu berasal dari aneka produk kesehatan dan kecantikan berbahan baku garam. Produk yang dikenal dengan garam spa itu merupakan body scrub, lulur mandi, face scrub, dan footsalt. Produknya tertata rapi di etalase dalam galeri ukuran 4 meter x 3 meter. Aneka penghargaan Septi serta foto bersama bupati hingga Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tertempel di dinding.

Harga jual garam spa itu fantastis, mencapai Rp 100.000 per kilogram. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga garam saat ini di tingkat petani, yakni Rp 1.300 per kilogram. Selain relaksasi, garam spa juga diklaim dapat menghilangkan gatal dan pegal tubuh serta menghaluskan kulit.

Bagaimana mungkin garam yang biasanya sebagai bahan penyedap masakan menjadi bahan terapi kesehatan dan kecantikan?

Septi pun bercerita. Semua dimulai pada 2011 ketika dia menjadi tenaga pendamping untuk Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon. Saat itu, dia mendampingi petani garam mulai dari daerah Kapetakan hingga Losari bersama lima tenaga pendamping lainnya untuk mengawal program pemberdayaan usaha garam rakyat (Pugar).

Saat mendampingi petani, Septi mengetahui kenyataan pahit. ”Harga garam selalu turun. Bahkan, pernah hanya Rp 50 per kilogram. Padahal, panen garam cuma empat bulan setahun,” ujarnya.

Kondisi itu nyaris dialami lebih dari 5.000 rumah tangga penggarap garam di Cirebon. Padahal, Cirebon menjadi daerah sentra penghasil garam dengan produksi bisa mencapai 440.000 ton per tahun. Septi pun geram dengan realita tersebut.

”Pernah, pada 2013, ada tujuh perusahaan importir garam bertemu dengan petani garam dan pemerintah daerah Cirebon. Kesepakatannya, perusahaan itu akan menyerap garam petani. Namun, tidak ada kesepakatan harga,” tutur Septi.

Ia lalu meminta salah satu perusahaan importir agar menyerap garam rakyat dengan harga bagus. Syaratnya, kualitas garam bagus. Sebelumnya, Septi bersama tenaga pendamping lainnya ikut serta menjalankan program pemerintah, yakni bertani garam dengan sistem geomembran. Dengan begitu, garam tidak bercampur tanah sehingga hasilnya bagus.

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI--Septi Ariyani

Kehilangan motor
”Dengan modal sendiri Rp 250 juta, saya menyewa gudang dan membeli garam petani dengan harga Rp 350 per kilogram. Padahal, saat itu harga garam paling tinggi Rp 250 per kilogram. Ini sudah saya laporkan kepada dinas,” tuturnya.

Penawaran tinggi itu membuat petani menjual garam ke Septi. Sebanyak 3.800 ton garam hasil panen sekitar 120 petani dijual kepada importir tersebut. Para tengkulak garam pun merasa tersaingi. Sebab, selama ini, harga garam ditentukan oleh tata niaga yang sama sekali tidak melibatkan petani. Septi dianggap ”merusak” harga.

”Akibatnya, saya dikecam oleh anggota DPRD setempat. Motor saya juga dicuri. Padahal, motor butut itu sudah digembok. Enggak apa-apa. Kalau mau maju, pasti ada ujiannya,” kata ibu dua anak ini mengenang.

Septi tidak gentar. Ia mulai belajar membuat bombsalt setelah mendapat pelatihan dari Balitbang Kelautan dan Perikanan KKP. Melalui kanal Youtube, ia juga belajar secara otodidak untuk membuat produk lainnya. ”Saya memasarkan sendiri ke dinas-dinas dengan presentasi. Saya bisa jual Rp 2 juta,” ujarnya.

Pada Januari 2015, Septi resmi berhenti menjadi tenaga pendamping dan fokus ke usaha garam spa. Penghasilan sekitar Rp 3,6 juta per bulan sebagai tenaga pendamping pun ditinggalkan. Ia malah menyewa lahan 3 hektar di Pangenan seharga Rp 5 juta per hektar per tahun. Ia juga mendapat bantuan dari sejumlah BUMN, seperti PT Telkom.

Ia lalu melatih enam petani untuk menghasilkan garam spa. Bahan untuk garam spa dibuat menggunakan geomembran. Di dasar lahan ditaruh terpal atau plastik agar garam tidak bercampur lumpur. Proses di meja garam 15-20 hari.

Setelah jadi, garam diproses dengan dicampur pewarna makanan, daun, atau bunga kering serta aroma. Setelah itu dikemas. Enam ibu rumah tangga di sekitar rumahnya ikut bekerja memproduksi garam spa.

Sebenarnya, ia sudah sering mengajak lebih banyak petani untuk membuat garam spa yang bernilai tambah. Namun, proses pembuatan yang menelan waktu setengah bulan menjadi kendala. Selama ini, petani terbiasa panen dalam waktu tiga hari sehingga kadar airnya tinggi sampai 30 persen. Padahal, garam spa yang putih itu mensyaratkan kadar air di bawah 5 persen.

”Pernah, saya sudah memberikan modal Rp 2 juta untuk buat garam kualitas 1. Alat-alat sudah disediakan. Eh, jadinya tetap garam kualitas 2,” ujarnya. Namun, Septi masih bertekad melatih petani membuat garam spa.

Garam spa juga tidak membutuhkan kadar NaCl tinggi, 97 persen, seperti kebutuhan industri. Ini seharusnya menjadi peluang bagi petani karena selama ini kadar NaCl dalam garam petani di bawah 90 persen. Itu sebabnya garam petani tak terserap industri dan membuat Indonesia harus mengimpor garam industri hingga 3,7 juta ton tahun ini.

Kini, pencetus garam spa di Cirebon ini juga membagikan ilmunya kepada 150 mahasiswa salah satu kampus di Cirebon. ”Mereka ingin belajar. Jadi, saya bawa ke lahan garam sampai cara membuat garam spa. Gratis. Mereka juga bisa ikut menjual,” ujar peraih Penghargaan Bupati Cirebon dalam Pembangunan Pemberdayaan Perempuan tahun 2016 ini.

Ia pun menikmati wangi garam. Setiap bulan, Rama Shinta mampu memproduksi 2 ton garam spa. Keuntungan bersihnya mencapai Rp 20 juta sampai Rp 25 juta. Produknya dipasarkan secara reseller hingga ke Jawa Tengah, Jakarta, Jawa Timur, dan Sumatera Barat.

Deputi Koordinator Bidang Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Kemaritiman Agung Kuswandono saat berkunjung ke Cirebon beberapa waktu lalu mengapresiasi upaya Septi dan mendorong petani memproduksi garam spa. ”Pasarnya masih luas. Produksinya saat ini baru ada di Kabupaten Buleleng (Bali) dan Cirebon,” ujarnya.

Namun, Septi belum puas. Ia punya impian menjadikan Cirebon sebagai ”Kota Garam”. Di sana, harga jual garam stabil, tidak anjlok, dan produksi garam petani berkualitas baik.

Septi Ariyani, SPi

Lahir: Jakarta, 26 September 1981

Pendidikan: Jurusan Perikanan Universitas Brawijaya Malang

Suami: Mukty Widayat

Anak:
– Hafidz Aria Wicaksono
– Jasmine Khayla Ramadhani

Pekerjaan: Pemilik Rama Shinta The House of Salt

ABDULLAH FIKRI ASHRI

Sumber: Kompas, 12 Juli 2018

No comments:

Post a Comment