Monday, February 3, 2020

Ferri Kurnia Pendekar Teh Pasir Canar

Sikap peduli kadang lahir dari kenangan. Itu setidaknya yang dialami Ferri Kurnia (40) yang kemuclian berhenti keliling dunia dan pulang untuk mengajak warga mengharumkan daun teh di kampungnya. Kini warga makin tahu cara memuliakan teh sebagai jalan memuliakan hidup.

Sepeda motor trail menyalak saat Ferri memutar gas dan melintasi jalan menanjak me-nuju kebun teh milik Nanang Suharman di Pasir Canar, Kabupaten Cianjur, akhir Juni 2019. Di kebun itu, Yan Yan (46) dan seorang rekan tengah asyik memetik pucuk daun segar yang akan digunakan sebagai bahan teh khas (specialty tea), yakni pucuk teh plus tiga daun di bawahnya.


Ferry menghampiri Yan Yan dan menjelaskan cara memetik daun yang benar. Harus menggunalcan tangan kosong, tidak boleh memakai pisau atau gunting seperti jamaknya pemetik teh di kebun lain. Sentuhan logam akan memengaruhi rasa teh. Selain itu, jumlah daun hanya pucuk (pekoe) plus tiga.

"Pada bagian ini akan tum-buh pucuk baru, makanya harus hati-hati petiknya," kata Ferri dalam bahasa Sunda. Pemilik Pabrik Pasir Canar ini selama lima tahun terakhir getol berbagi pengetahuan tentang teh kepada petani sekitar pabrik Dia ingin petani dan pemetik teh sejahtera. Dia bersedia membeli teh pucuk segar hasil panen petani dengan harga Rp 6.000 per kilogram asal hanya terdiri dari pucuk plus tiga (premium). Harga tersebut menarik pe-tani karena selama ini mereka menjual ke pengepul hanya Rp 2.500 per kilogram.

Kepada petani, ayah tujuh anak ini berulang kali menegaskan hanya membeli pucuk premium. Daun tadi tidak boleh dipetik menggunakan pisau atau gunting. Namun, tidak mudah mengubah kebiasaan petani yang memetik pekoe hingga daun tua atau pekoe plus tujuh, bahkan plus sembilan. Semula Ferri menolak membelinya. Namun, petani tidak kunjung jera. Mereka masih mengulang kesalahan yang sama.

Ferri memutar akal dan memutuskan membeli teh petani meskipun tidak sesuai kriteria yang dia inginkan. Setelah dia beli, teh itu dia biarkan mengering di halaman pabrik Keokan hari petani malu karena hasil petikan ditelantarkan. Rupanya cara ini efektif menyentuh ego petani dan akhirnya mereka hanya memetik pucuk premium. Daun teh inilah yang dikelola Ferri menjadi teh khas (specialty) dengan harga sampai Rp 350.000 per kilogram.
Ferri lahir dan besar di lingkungan teh. Kakeknya adalah seorang pengusaha teh yang mendapat perkebunan teh setelah membelinya dari Jepang ketika Belanda hendak memasulci Cianjur. Usaha itu lalu diwariskan kepada ayahnya. Dalam sehari-hari Ferri minum teh. Begitu juga ketika main ke rumah tetangga atau teman di kampung, selalu tersedia teh. '

Beranjak dewasa, ia sekolah di Bandung, kemudian kuliah di Jakarta. Setelah itu ia bekerja sebagai pelayan restoran hotel di Jakarta sebelum akhirnya keliling dunia bekerja di kapal pesiar. Ketika berada di Alaska, dia mendapat kabar ibunya sakit. Ketika transit di Hong Kong, keluarga Ferri memberi kabar, ibunya berpulang.
Jiwanya terpukul. Sebuah kehilangan mendalam. Setelah itu dia bertekad tidak akan kembali berlayar dan akan menemani ayahnya, Muhammad Oero. Dia tidak ingin kehilangan ayahnya. Di rumah Ferri bingung karena lama meninggalkan kebun. Pelan-pelan dia mengorek semangat pemberontakan dan perjuangan sebagai anak punk sekaligus pencinta alam ketika masih sekolah di Bandung dan Jakarta.

Lalu, Ferri keliling kampung dan kaget mendapati banyak warga tidak lagi minurn teh. Mereka mengonsumsi air mineral kemasan sebab sudah jarang daun teh bisa dipetik. Ia seolah kehilangan sebagian dirinya yang biasa mengonsumsi teh.

Kata petani, mereka kesulitan mengonsumsi teh karena banyak tanaman teh rusak. Pada 2014 ayahnya mendirikan pabrik teh rakyat berkapasitas sekitar 200 kilogram per hari. Pabrik ini menampung teh hasil panen rakyat sekitar.

Dari 2016 sampai 2017 pabrik sempat berhenti beroperasi setelah ayah Ferri meninggal. Ferri mendapat tugas mengelola pabrik teh. Dia pun rajin mendidik petani tentang cara tanam dan petik yang benar. Sekarang ada 50 petani yang mengelola kebun dengan baik Penghasilan pun meningkat hingga tiga kali lipat.

Pada November 2017 Ferri memacu sepeda motor dari jantung kota Cianjur menuju Pasir Canai; Kecamatan Takokak, Kabupaten Cianjur (Selatan). Sepanjang jalan, batin Ferri bertarung: ingin mempertahankan nasihat ayahnya atau menyerah pada kenyataan sudah tidak memiliki modal lagi. Dia memilih yang kedua.

Dia berniat menuju rumah seorang petani yang hendak memetik teh. Sebelumnya petani ini menelepon Ferri agar mampir ke kebunnya melihat tanarnan teh dan mengajarinya cara memetik teh yang benar agar pucuk segarnya nanti dapat meng-hasilkan teh kering berkualitas. Kesempatan itu juga akan dia gunakan untuk menyampaikan maksud hatinya menutup pabrik teh.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dia berhenti, membuka jas hujan, dan memicingkan mata pada layar ponsel. Di sana terpapar nama Vladimir Mosyagin, seorang eksportir teh yang dia kenal dalam sebuah pameran teh. Ferri pernah menawarkan teh kepada Mosyagin, tetapi ditolak karena jumlahnya yang terlalu sedikit.

"Katanya dia mau menerima teh saya dan hendak melihat pabrik teh saya di Pasir Canar. Wah, saya senang sekali. Sepanjang perjalanan menuju rumah petani tadi saya senyum-senyum sendiri. Semangat menyala lagi," ujar Ferri. Sejak telepon Mosyagin itu hingga sekarang, setidaknya Ferri sudah enam kali mengirim teh premium. Sekali kirim dari tujuh kuintal hingga 1,8 ton. Pembayaran selalu lancar sehingga Ferri pun mampu membeli teh dari petani dengan lancar.

Ferri Kurnia
Lahir: Sukabumi, 20 Februari 1979
Istri: Hapti Triyulian
Anak: 7
Pendidikan: D-3 Akademl Pariwisata Indonesia, Jakarta, 2001/2002

Mohanunad Hilmi Faiq

Sumber: Kompas, 3 Februari 2020

No comments:

Post a Comment