Andarias Sambokaraeng menyadarkan warga bahwa anggrek liar yang tumbuh di Desa Tondok Bakaru, Kecamatan Mamasa, punya nilai ekonomis. Kini budidaya anggrek memberi penghasilan tambahan untuk warga Desa Tondok Bakaru.
KOMPAS/RENY SRI AYU--Andarias Sambokaraeng
Saat pertama kali membawa anggrek di boncengan motornya, sebagian warga menertawakan Andarias Sambokaraeng. Pasalnya, mereka lebih mengenal anggrek sebagai rumput atau jenis tanaman pengganggu ketimbang tanaman hias. Siapa sangka, warga yang dulunya tertawa dan mengejek, kini ikut menikmati berkah dari anggrek.
Saat itu tahun 2016, Andarias sedang berjalan-jalan di kawasan hutan di sekitar permukiman di Desa Tondok Bakaru Kecamatan Mamasa, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Di hutan, dia menemukan anggrek jenis vandopsis yang jatuh bersama sebuah pohon tumbang. Tertarik melihat bunga anggrek itu, dia pun membawanya pulang.
Anggrek sebenarnya bukan hal baru bagi warga Tondok Bakaru. Tanaman ini ada di mana-mana. Beragam pula jenisnya. Namun, tanaman ini dianggap rumput atau jenis benalu. Kerap jika ditemukan di pohon di halaman rumah, warga akan mencabut dan membuangnya.
”Saya tempatkan dalam wadah lalu saya ikat di boncengan motor. Sepanjang jalan warga tertawa dan menegur. Mereka bilang kenapa saya membonceng rumput. Tapi anggrek itu saya bawa pulang dan rawat beberapa bulan,” kata Andarias yang biasa disapa Andre.
Suatu hari, iseng Andre memotret anggrek yang dirawatnya dan sudah berbunga banyak lalu diunggah di akun media sosialnya. Tak disangka unggahan itu disukai banyak orang. Tidak sedikit pula yang berkomentar dan bertanya. Bahkan salah seorang dari Aceh mengirim pesan dan bertanya harga serta memesan.
KOMPAS/RENY SRI AYU--Tondok Bakaru adalah desa yang memiliki potensi pariwisata alam dan anggrek. Sejak 2017 warga secara mandiri mengembangkan pariwisata, di antaranya dengan daya tarik anggrek.
Andre tentu saja terkejut. Dia tak menyangka anggrek, yang selama ini diabaikan olehnya ataupun warga, punya nilai ekonomi. Dia mengirim sejumlah anggrek ke Aceh sesuai pesanan. Hasilnya lumayan.
Selanjutnya dia mulai mencari anggrek lagi. Saat tak punya waktu, dia meminta orang lain yang mencari dan membayarnya. Sehari-hari, Andre adalah guru Sekolah Dasar 005 Rante Buda’, Mamasa, hingga tak punya banyak waktu mencari anggrek. Biasanya dia memanfaatkan waktu di akhir pekan untuk mengumpulkan ataupun mengurus pesanan anggrek.
Kesibukan Andre berkutat dengan anggrek akhirnya mulai menarik perhatian warga. Terlebih Andre tak hanya menjual anggrek, dia pun membeli lumut, akar pakis, hingga kayu bekas dari warga, untuk wadah anggrek.
”Mereka melihat bahwa anggrek ini punya nilai jual. Akar pakis, lumut, bahkan ranting jatuh di hutan atau sisa kayu, semua bernilai. Akhirnya, satu per satu mulai ikut dan berbisnis anggrek. Kadang mereka menitipkan pada saya anggrek milik mereka untuk dijualkan,” katanya.
Melihat potensi bisnis ini dan antusias warga, Andre akhirnya mengurus izin penangkaran di Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Dia pun mengajak salah satu SMK pertanian untuk ikut membantu. Tak sekadar mencari anggrek di hutan, dia juga mengajak warga untuk mendata anggrek jenis apa saja yang ditemukan. Mereka juga aktif ikut pameran dan membawa anggrek dari hutan-hutan Mamasa. Pemuda desa mulai dari pengangguran hingga yang bekerja diajar menjual via daring dengan memanfaatkan gawai.
Budidaya anggrek
Melihat potensi bisnis ini dan antusias warga, Andre akhirnya mengurus izin penangkaran di Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Dia mengajak salah satu SMK pertanian untuk ikut membantu. Tak sekadar mencari anggrek di hutan, dia juga mengajak warga untuk mendata anggrek jenis apa saja yang ditemukan. Pemuda desa mulai dari pengangguran hingga yang bekerja diajar menjual via daring dengan memanfaatkan gawai.
KOMPAS/RENY SRI AYU ARMAN--Salah satu jenis anggrek di Tondok Bakaru.
Seiring waktu, kekhawatiran Andre bahwa anggrek akan terus diburu membuatnya beralih menjadi pembudidaya. Dia mulai berhenti berdagang dan lebih serius mengurus budidaya. Dia pun membentuk komunitas anggrek yang lebih aktif salam budidaya. Komunitas ini kemudian melahirkan kelompok-kelompok budidaya anggrek.
Mereka berjaringan dengan kelompok sejenis dari banyak wilayah di Indonesia dengan memanfaatkan media sosial. Selebihnya belajar secara otodidak atau melalui berbagai literatur. Kelompok-kelompok ini juga aktif mendampingi peneliti yang datang ke Gandang Dewata untuk meneliti anggrek maupun hewan endemik.
”Dengan ikut mendampingi peneliti, saya jadi tahu mana anggrek yang benar-benar endemik Mamasa, mana yang langka, mana yang bisa diperjualbelikan, hingga spesies baru. Ini berguna bagi saya dan teman-teman pemerhati untuk membudidaya ataupun mendata anggrek,” kata Andre.
Saat ini budidaya anggrek yang dilakukan Andre sudah sampai ke sistem kultur jaringan bekerja sama dengan kelompok pembudidaya anggrek di Malang.
Bersama Kepala Desa, Andre kemudian merintis laboratorium anggrek di Mamasa yang nantinya juga akan mengembangkan budidaya dalam bentuk kultur jaringan. Sejauh ini sudah ada dana bantuan dari pemerintah provinsi Rp 70.000.000 yang kelak bisa dimanfaatkan untuk pengadaan alat. Selebihnya ada tanah milik desa yang bisa menjadi lahan untuk pusat kegiatan desa di antaranya laboratorium anggrek.
”Jika sudah makin banyak anggrek yang dibudidayakan, saya berharap bibit-bibir anggrek akan kami kembalikan ke hutan, ke habitatnya untuk mengganti anggrek yang sudah kami ambil,” katanya.
Desa wisata
Desa Tondok Bakaru terletak di kaki Gunung Gandang Dewata dan dikelilingi pegunungan Mambu Lilin. Di kawasan hutan di pegunungan ini, anggrek melimpah dan jenisnya mencapai ratusan. Tanaman pakis liar juga tumbuh subur. Anggrek tak hanya terdapat di sekitar Tondok Bakaru, tetapi di hampir seluruh wilayah di Mamasa. Tondok Bakaru juga dianugerahi panorama alam yang elok di sekeliling.
KOMPAS/RENY SRI AYU ARMAN--Suasana Kampung Natal di Desa Tondok Bakar, Kecamatan Mamasa, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, Sabtu (14/12/2019). Warga Desa setempat memilih perayaan Natal dengan menggelar Kampung Natal di hutan pinus.
Kekayaan anggrek dan keindahan alam membuat Andre tak lagi sekadar berminat berbisnis anggrek. Dia mulai berpikir mengembangkan wisata alam dengan anggrek sebagai ikon. Dia lalu menemui Kepala Desa Tondok Bakaru Mathews Daniel Dessaratu dan menyampaikan keinginannya.
Gayung bersambut lalu keduanya mulai membenahi areal sawah milik mereka yang berdampingan. Meminjam uang ke bank, mereka kemudian membangun pondok-pondok kayu di sekitar sawah berikut spot-spot foto menarik. Di rumah panggung Andre di tepi sawah, dia membudidayakan anggrek untuk memudahkan pengunjung melihat tanaman ini.
”Saya sengaja membuat spot-spot foto yang lebih menjual untuk unggahan media sosial. Harapannya orang-orang yang datang ke sini bisa membuat foto-foto bagus sekaligus bercerita tentang anggrek dan mengunggah ke media sosial. Dengan begitu, Tondok Bakaru bisa lebih terkenal,” kata Andre.
Tujuannya memang berhasil. Orang-orang mulai berkunjung ke Tondok Bakaru lalu membuat unggahan ke media sosial. Tondok Bakaru mulai dikenal. Orang makin banyak datang.
Warga lain lagi-lagi melihat potensi ini. Tak lagi sekadar ikut berbisnis anggrek, mereka juga berlomba-lomba membenahi lahannya dengan membuat spot-spot bersantai dan berfoto di hutan pinus dan kawasan lain sekitar desa. Jualannya adalah keindahan alam dan anggrek. Bunga-bunga ini ditata di satu tempat khusus dan menjadi obyek wisata sekaligus untuk mengabadikan gambar.
Warga mendapat tambahan penghasilan dari memanfaatkan lahan sekitar rumah ataupun hutan dari tarif masuk yang ditarik ke setiap pengunjung. Dengan harga tiket Rp 3.000 per orang, pengunjung bisa duduk bersantai di area yang disediakan sembari menikmati panorama alam. Mereka bisa makan minum dengan membeli dari kios-kios milik warga yang juga menjadi bentuk usaha lain dari pengembangan wisata desa.
Rupanya, geliat anggrek dan wisata alam di Tondok Bakaru membuka mata warga di kecamatan lain. Mereka pun tertarik berbisnis dan membudidayakan anggrek. Pemerintah provinsi dan kabupaten bahkan menetapkan anggrek sebagai ikon Mamasa karena memang ada di hampir seluruh wilayah Mamasa. Adapun Tondok Bakaru dijadikan desa sadar wisata. Salah satu anggrek endemik, yakni Trichotocia Tondok Bakaru, diusulkan untuk jadi anggrek endemik Mamasa.
Andarias Sambokaraeng
Lahir: 27 November 1978
Istri: Amalia
Anak: Jewelry Risti Datu Karaeng dan Genis Amari Arruan Mentodo.
Pendidikan
SDN 015 Rantebua, Mamasa
SMPN 1 Mamasa
SMAN 1 Bajeng, Gowa
PGSD, Universitas Negeri Makassar
Pekerjaan: Guru SD 005 Rante Buda’, Mamasa
Oleh RENY SRI AYU
Editor: BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 5 Februari 2020
No comments:
Post a Comment