Tuesday, June 16, 2020

Abdul Hadi, Keuletan Mantan TKI


KOMPAS/KHAERUL ANWAR---Abdul Hadi, mantan TKI yang merintis usaha pembuatan minuman berbahan jahe merah.

Kegagalan menjadi bagian dari perjalanan hidup Abdul Hadi hingga ia memulai usaha minuman berbahan jahe merah. Mantan TKI ini berhasil mengubah jalan hidupnya.

Pengalaman merantau ke negeri orang membuat mental Abdul Hadi tertempa. Ketika ia pulang kampung dan merintis usaha, ia tidak mudah menyerah kendati mengalami kegagalan. Ia terus mencari hingga berjodoh dengan bisnis minuman berbahan jahe merah.

Abdul Hadi berasal dari Dusun Longserang Barat Selatan, Desa Langko, Kecamatan Lingsar,  berjarak 17 km dari Mataram, ibu kota NTB. Desa seluas 360 hektar itu lebih dari setengahnya berupa lahan perkebunan, pertanian, dan hutan lindung. Lahan-lahan perkebunan di desa itu sebagian besar milik pemodal besar.


Warga Desa Langko umumnya bekerja sebagai petani penggarap. Sebagian besar dari mereka telanjur melepas tanah garapan mereka kepada pemilik modal besar. Orangtua Abdul Hadi termasuk yang menjual tanahnya kepada pengusaha dan menggantungkan hidup sebagai buruh tani atau kebun yang hasilnya tidak seberapa.

Tanpa tanah, kehidupan warga di desa yang dulu termasuk terpencil itu seakan tidak bisa bergerak. Situasi itu diperburuk dengan persoalan sosial lain yang banyak terjadi di Desa Langko, mulai dari kebiasaan minum minuman keras seperti tuak, banyaknya pernikahan dini, kawin cerai, hingga putus sekolah.

Hadi yang cuma lulusan SMP memutuskan meninggalkan kampung halamannya pada 1995 agar bisa mengubah nasib. Berbekal uang pinjaman Rp 1,5 juta untuk membayar perusahaan jasa tenaga kerja, ia berangkat ke Korea Selatan dan menjadi buruh migran. Ia berpindah-pindah kerja di beberapa perusahaan industri elektronik dan otomotif.

Selama bekerja di ”Negeri Ginseng”, Hadi mendapat pelajaran berharga tentang disiplin. Sesuatu yang kurang ia pahami ketika hidup di kampung halaman. ”Orang Korea itu terkenal punya disiplin waktu. Ndak ada alasan telat masuk kantor, pokoknya datang ke kantor, waktu istirahat dan usai jam kerja harus tepat waktu,” tutur Hadi kepada Kompas, Sabtu (6/6/2020).

Sayangnya, hasil kerja di Korea selama enam tahum tidak banyak membuahkan hasil karena Hadi tidak bisa mengelola gaji dengan baik. Tahun 2001, ia pulang ke Indonesia dan tinggal di rumah orangtua istrinya, Ika Irawati (39), di Bogor. Untuk menghidupi keluarga, ia bekerja di sebuah perusahaan industri elektronik di Bekasi. Ia kemudian pindah ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dan bekerja sebagai petugas keamanan di sebuah perusahaan industri batubara.

Merintis usaha
Kendati bekerja di rantau tidak mengubah banyak perekonomian Hadi dan keluarga, ia mendapat banyak pengalaman berharga. Mental dan disiplinnya menjadi lebih terasah. Maka, ketika ia memutuskan pulang ke kampung halamannya di Lombok, Hadi menjadi pribadi yang ulet dan tidak mudah menyerah.

KOMPAS/KHAERUL ANWAR---Seorang pekerja tengah memilah bahan minum serbat jahe yang dipanaskan di atas kompor, Minggu (6/6/2020), di dapur kerja Abdul Hadi di Dusun Longserang Barat Selatan, Desa Langko, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat. Nusa Tenggara Barat.

Di kampung, ia  mencoba merintis usaha penjualan ijuk dan bambu. Namun, usaha itu gagal. Ia kemudian berdagang keripik singkong keliling dengan sepeda motornya. Namun, sering kali  Hadi pulang dengan tangan hampa. ”Jangankan untung, modal produksi saja tidak kembali karena dagangan saya tidak laku,” tambahnya.

Hadi lalu beralih ke usaha budidaya jahe merah. Bibit jahe sebanyak 2 kilogram dikirim adiknya yang tinggal di Banjarmasin. Bibit itu Hadi tanam di 50 polybag. Sekitar tiga bulan kemudian, bibit jahe itu berkembang menjadi 100 polybag. Ketika panen, hasilnya tidak laku dijual. Hadi kembali gigit jari lantaran usahanya tidak menghasilkan uang.

Agar hasil panen tidak terbuang percuma, Hadi  mengolah jahe merah itu menjadi berbagai macam minuman. Sekali lagi barang dagangannya tidak laku karena tidak memenuhi selera pasar. Hadi dan istrinya terus mencari racikan minuman berbahan jahe merah yang pas.

Setelah berkali-kali mencoba, baru pada 2017 mereka menemukannya. Ia mencampur gula aren dengan jahe merah, serai, kayu manis, dan cabai tandan. Bahan baku yang sudah tercampur itu dipindahkan ke kuali, dipanaskan,  dan diaduk sampai berbentuk ekstrak.

Untuk mengetahui selera pasar, Hadi membagikan ekstrak jahe merah kepada tetangga untuk dicicipi. Ternyata mereka menyukainya. Minuman yang disebut serbat itu memang bukan barang asing buat warga karena minuman semacam itu dulu biasa dikonsumsi petani untuk menambah tenaga. Selain itu, serbat juga biasa dihidangkan saat acara dzikiran di Lombok.

Hadi kemudian menjual produknya berkeliling di Pulau Lombok. Ia keluar-masuk kantor instansi pemerintah di Kabupaten Lombok dan Provinsi NTB untuk menawarkan serbat.  Ia juga memanfaatkan media sosial guna memasarkan produknya. Usaha keras itu akhirnya berhasil. Pada 2017, minuman itu diterima pasar bahkan bisa merambah daerah di Jabodetabek, Banjarmasin, Kendari, Malaysia, Singapura, Jepang, hingga Arab Saudi lewat pedagang perantara.

Saat ini Hadi dan istri memproduksi beberapa varian minuman jahe merah dengan harga berkisar Rp 17.000-Rp 25.000 per bungkus. Sehari ia bisa membuat 50-100 kilogram serbat.

Menetes ke warga
Untuk menjalankan usahanya, Hadi mempekerjakan beberapa tetangganya di bagian produksi. Selain itu, ia juga menampung produk gula aren dari 23 ibu rumah tangga di desanya. Ia menyisihkan sebagian penghasilannya untuk sembilan warga tidak mampu di kampungnya dan mengangkat seorang anak angkat yang kini berusia empat tahun.

KOMPAS/KHAERUL ANWAR---Seorang pekerja menangani proses akhir pembuatan minuman serbat jahe, Minggu (6/6/2020),di Dusun Lonserang, Desa Langko, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat. Nusa Tenggara Barat.

”Sejak awal saya memang bercita-cita jika usaha serbat jahe ini berhasil, hasilnya bukan untuk diri saya dan keluarga saja, melainkan juga masyarakat harus merasakan manfaatnya,” ujar Hadi yang pernah menjabat Kepala Dusun Lonserang Barat Selatan periode 2014-2019. Saat menjabat, ia merealisasikan pengaspalan jalan di dusunnya serta berhasil memberantas perjudian dan minuman keras.

Hadi kini berupaya memotivasi warga untuk memanfaatkan potensi yang ada di desanya demi mengubah kehidupan mereka. Jika jahe saja bisa mendatangkan uang, maka hasil bumi lain yang ada di desa itu seharusnya juga bisa diolah untuk menghasilkan uang. Begitulah keyakinan Hadi.

Abdul Hadi

Lahir: 2 Januari 1978 di Dusun Lonserang, Lombok Barat

Pendidikan:
SDN 2 Langko, tamat  1991
SMPN 12 Selagalas, Mataram, tamat 1994
Paket C, tamat 2016

Oleh  KHAERUL ANWAR

Editor:   BUDI SUWARNA

Sumber: Kompas, 16 Juni 2020

No comments:

Post a Comment