Wednesday, January 15, 2020

Heri Setiawan Petani Kopi dari Lereng Merapi

KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE---Heri Setiawan (32). petani kopi di Desa Samiran, Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah. Seperti berenang melawan arus, Heri berani menanam kopi Arabika, jenis tanaman yang jarang digarap oleh petani di daerah asalnya.

Heri Setiawan gigih menjadi petani kopi Arabika di Selo, Boyolali. Perjalanan sejak tahun 2010 mengantarnya menjadi petani kopi muda yang sukses.

“Orang goblok itu nggak banyak mikir, yang penting terus melangkah. Orang pintar kebanyakan mikir, akibatnya tidak pernah melangkah.”

Kata-kata motivasi dari pengusaha sukses Bob Sadino itu diyakini oleh petani di lereng Gunung Merapi, Heri Setiawan (32). Seperti berenang melawan arus, Heri berani menanam kopi Arabika, jenis tanaman yang jarang digarap oleh petani di Desa Samiran, Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah.

“Saya pernah dibilang gila karena menggarap kopi. Ada juga yang bilang kopi knalpot karena kopi dijemur di pinggir jalan raya. Saya juga dianggap tidak punya pekerjaan karena setiap hari menggiling kopi. Sampai sekarang, menanam kopi masih dianggap aneh,” kata ayah satu anak itu, ditemui di kedai kopi miliknya di Selo, Boyolali, Jumat (8/1/2021).

Tidak menghiraukan omongan negatif dari orang-orang di sekitarnya, Irek, panggilan akrab Heri Setiawan, terus melangkah. Di bangunan mungil satu lantai ia berjualan dan berinteraksi dengan penikmat kopi. Dengan peralatan penyeduh kopi sederhana, seperti menggunakan ceret logam untuk memanaskan air di atas kompor, Heri menawarkan aneka sajian kopi.

Desa Samiran di Boyolali, merupakan daerah wisata alam yang diapit Gunung Merapi dan Merbabu. Daerah ini menawarkan panorama alam pegunungan yang cantik dengan suhu udara sejuk. Di daerah ini, kegiatan masyarakat didominasi oleh pertanian dan peternakan.

Berbeda dengan kebanyakan petani yang menggarap sayuran dan rumput sebagai pakan ternak, Irek justru tertarik mengembangkan kopi Arabika. Biji kopiyang ditanam, dipetik, dan diolah langsung dari kebun kopi miliknya mempunyai keistimewaanafter taste, atau rasa yang tertinggal dengan karakter fruity, alias buah-buahan. Rasanya campuran manis dan asam. Ketika biji kopi digiling, tercium aroma campuran coklat dan gula aren yang sangat memikat.

Perkenalan Irek dengan kopi terjadi pada 2002, ketika ia masih duduk dibangku SMP. Ketika itu, ia melihat Presiden Megawati Soekarnoputri memberikan 2.000 bibit kopi kepada petani di wilayah Selosebagai bagian dari pencanangan jalur wisata Solo – Selo – Borobudur.

Bibit kopi pemberian Presiden Megawati diabaikan oleh petani karena mereka tidak tahu bagaimana cara menanam dan merawat bibit kopi. Selain itu, petani masih fokus menanam berbagai jenis tumbuhan dan sayuran yang tumbuh subur di sana. Pasca erupsi Merapi, pada 2010, sebagian masyarakat Selo mulai menanam kopi di pekarangan rumahnya.

Irek, yang kerap blusukan ke kampung-kampung, melihat kopi ditanam sebagai pagar rumah warga. Setidaknya setiap rumah mempunyai lima pohon kopi. Ia kemudian tertarik mengembangkan tanaman kopi. Pada 2010, Irek menanam jenis kopi Luwak dengan hasil kurang maksimal. Tiga tahun kemudian, Irek menanam 200 pohon kopi varietaslinie S, kartika, sigarar utang, tipika, dan borbor. Ia menggunakan lahan miring bekas pertanian milik ayahknya di Bukit Gancik untuk menanam.Hasilnya, ia bisa memanen 2 ton kopi pada 2017.

Jumlah pohon kopi kini mencapai 900 buah. Pada 2020 lalu, Irek memproduksi sekitar 6,5 ton kopi. Selain menanam kopi, kini Irek juga menanam beberapa jenis buah seperti alpukat, jeruk, terong belanda, pisang sebagai tambahan penghasilan.

Ketertarikan Irek menanam kopi karena melihat peluang. “Kalau saya menanam tembakau atau sayur, saingan kuat. Selain itu, ini juga upaya konservasi alam karena di sini sudah banyak lahan gundul,” jelas anak pertama dari dua bersaudara ini.

Dengan alat-alat sederhana, Irek mengelola kopi dari hulu ke hilir. Irek bekerja sama dengan anak muda, Riza Zahrul Huda (20), yang membantunya memproses kopi sejak masih berada di kebun, hingga dipasarkan kepada konsumen. Irek dan Huda bekerja sama menanam kopi, melakukan proses pasca panen, yang terdiri dari pemetikan buah ceri kopi, pengupasan kulit ceri, penjemuran, penggilingan, hingga penyeduhan kopi.

KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE---Suasana kedai kopi milik Heri Setiawan (32). petani kopi di Desa Samiran, Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah. Seperti berenang melawan arus, Heri berani menanam kopi Arabika, jenis tanaman yang jarang digarap oleh petani di daerah asalnya.

Inspirasi petani

Kesuksesannya memanen biji kopi menginspirasi petani di daerahnya untuk melakukan hal serupa. Irek pernah bermitra dengan 20 petani. Ia membagikan bibit kopi kepada petani untuk dibudidayakan. Namun, karena ada ketidakpastian penghasilan, banyak petani rontok.

Umumnya petani tidak sabar dengan proses penanaman kopi yang butuh waktu lama. Seorang petani bahkan menebang pohon kopi kemudian perkebunannya disewakan dan dialihfungsikan menjadi vila. “Menanam kopi ‘kan tidak cukup sebulan dua bulan, perlu waktu bertahun-tahun. Petani yang tidak sabar, akhirnya mernyerah,” jelasnya.

Irek kemudian mengubah strategi bermitra dengan petani. Kalau dulunya bibit kopi dibagikan secara cuma-cuma, ia kini menjual bibit kepada petani agar mereka lebih serius menanam.

Dari dulunya nyaris tidak ada petani yang menggarap kopi dengan serius, kini tumbuh setidaknya ada delapan processor (pengolah pascapanen) kopi di Desa Samiran. Namun, tidak semua merasakan manfaat dari kopi. Beberapa processor terpaksa gulung tikar karena tidak mampu memasarkan kopi kepada konsumen. Berkaca dari situasi ini, Irek berusaha memastikan usahanya berjalan lancar dari mulai produksi, pemasaran, dan penjualan.

KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE---Bibit kopi di perkebunan milik Heri Setiawan di Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (8/1/2021). Di daerah ini kebanyakan petani masih menggarap sayuran dan buah-buahan. Tidak banyak petani yang mau mengolah tanaman kopi.

Setiap proses pengolahan kopi menghadirkan tantangan, seperti belum semua warga memahami nilai kopi. Banyak pohon kopi sering mati terinjak-injak warga yang mencari rumput untuk pakan ternak. Tantangan lainnya adalah cuaca yang tidak mudah diprediksi.

Di Desa Samiran, yang posisinya diapit bukit dan pegunungan, sinar matahari muncul tidak menentu. Untuk memproses kopi secara natural (natural process), atau pengeringan kopi langsung dengan buahnya, sering terkendala dengan curah hujan.

Dengan karakteristik udara yang lembab dan sering mendung, kopi yang sedang dijemur kerap berubah warna menjadi keputihan yang artinya rusak karena bakteri dan jamur. Tidak heran kopi Selo natural processdihargai lebih mahal karena pengolahan yang rumit yang berisiko.

Ketika Kompas bekunjung ke perkebunan kopi di Desa Samiran, Desember lalu, hujan deras turun membasahi tanah dan dedaunan. Beberapa petani terlihat bergegas meninggalkan kebun. Mereka yang terjebak di kedai kopi, asyik menyeruput kopi sambil memandang tetesan hujan.

Tantangan lain yang dihadapi petani kopi adalah erupsi dari Gunung Merapi. Pada 2018 lalu, erupsi abu vulkanik Gunung Merapi membuat kopi menjadi aroma belerang. Banyak petani kopi gagal karena situasi ini. Irek menyiasatinya dengan menjadikan aroma belerang sebagai kekuatan. “Saya bilang kepada konsumen bau belerang ini adalah bukti bahwa kopi Arabika ini asli dari Merapi. Namanya orang jualan semua cara dipakai,” ujarnya, sambil tertawa.

Sebelum menjadi petani kopi, Irek menjalani profesi serabutan. Ia pernah bekerja sebagai buruh bangunan, buruh tani, montir, hingga pedagang pulsa dan makanan burung. Penghasilan dari jualan pulsa atau makanan burung selalu dipakai membeli bibit kopi.

Ketika berjualan kopi, ia berhadapan dengan warga yang belum terbiasa menyeduh kopi giling. Sebagian besar warga di daerah tempat tinggalnya sudah terbiasa menikmati kopi bubuk instan. Oleh karena itu, ia tidak hanya bergerak memproduksi kopi tetapi juga membangun kedai kopi sebagai upaya membangun kultur masyarakat.

Penghasilan dari berjualan biji kopi ia pakai untuk membeli peralatan menyeduh kopi, seperti mesin penggiling kopi (coffee grinder) dan rok presso. Ia juga mempelajari ragam penyeduhan kopi dari barista yang datang ke Desa Samiran untuk membeli biji kopi.

KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE---Suasana di perkebunan di Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (8/1/2021). Di daerah ini kebanyakan petani masih menggarap sayuran dan buah-buahan. Tidak banyak petani yang mau mengolah tanaman kopi.

Pelan tapi pasti, usahanya mulai membuahkan hasil. Ia kerap mendapat kunjungan dari tamu-tamu luar kota yang ingin ngopi sambil memandang panorama Gunung Merapi.

Selanjutnya, Irek bercita-cita membuat warung kopi di pinggir perkebunan kopi untuk memberikan pengalaman lebih kepada para pecinta kopi. “Setidaknya kalau orang tidak suka kopi, mereka suka pengalaman mencicipi kopi yang dipetik langsung dari kebun,” katanya.

Heri Setiawan

Lahir: Boyolali, 24 November 1988

Pendidikan: STM Ganesha Boyolali – Teknik Mesin

Oleh   DENTY PIAWAI NASTITIE

Editor:   MARIA SUSY BERINDRA

Sumber: Kompas, 15 Januari 2021

No comments:

Post a Comment