Sunday, May 6, 2018

Purwohadi Sanjoto, Hikayat Tukang Roti dari Solo

Saya tidak pernah berpikir untuk jadi tukang roti. Keinginan saya itu jadi diplomat…,” kata Njoo Tik Tjiong (83) atau Purwohadi Sanjoto. Nyatanya, Sanjoto menjadi penerus laju perusahaan roti Orion yang dirintis ayahnya sejak 1932. Kini, Orion menjadi salah satu ikon  kuliner dan bagian dari sejarah  Kota Solo.

”Saya tidak pernah berpikir untuk jadi tukang roti. Keinginan saya itu jadi diplomat…,” kata Njoo Tik Tjiong (83) atau Purwohadi Sanjoto. Nyatanya, Sanjoto menjadi penerus laju perusahaan roti Orion yang dirintis ayahnya sejak 1932. Kini, Orion menjadi salah satu ikon kuliner dan bagian dari sejarah Kota Solo.

Lagu ”Solo di Waktu Malam” karya Maladi itu mengalun di Sabtu 7/4/2018) malam lalu di samping Toko Roti Orion, Jalan Urip Sumoharjo, sebelah utara Pasar Gede Harjonegoro, Solo. Di sana terpampang tangan mengacungkan jempol. Itulah lambang Toko Roti Orion, tempat orang memburu kue Mandarijn dan roti semir yang menjadi bagian dari oleh-oleh khas dari Solo.


Malam itu dihelat pembacaan hikayat tukang roti dari buku Karmacinta Biografi Sanjoto Senyatanya tulisan Bre Redana terbitan KPG, Jakarta. Happy Salma dan Wani Darmawan membacakan balada Sanjoto diiringi Djaduk Ferianto dengan Orkes Sinten Remen-nya. Maka, diwartakanlah balada 85 tahun jatuh bangun pasangan Njoo Hong Yauw dan Tjan Giok Nio yang pada 1932 mendirikan pabrik roti Orion, kemudian pada 1974 dilanjutkan anaknya, Sanjoto, hingga menjadi pusat oleh-oleh tersohor dari Kota Solo.

Seulet adonan terigu, seperti pula orangtua Sanjoto merintis usaha roti di kawasan Mesen, Solo. Di sekitar masa revolusi, ketika bahan tepung terigu susah di dapatkan, ayah Sanjoto memutar otak. ”Ayah saya itu bukan orang sekolahan. Dia utak-atik bahan pakai tepung garut. Dia juga beli lemak sapi prongkolan (bongkahan) diudek sampai leder (cair) buat bikin mertego,” kata Sanjoto. Dalam bahasa Jawa logat Solo-nya yang kental, Sanjoto menyebut mentega dengan lafal mertego.

Pada 1974, ia dipanggil pulang ke Solo oleh ayahnya untuk melanjutkan Orion. Semula Sanjoto menolak karena ia sudah mempunyai bisnis mapan di Jakarta. Setelah mantap menerima tugas keluarga itu, ia menggagas untuk menggunakan oven buatan Jerman yang tergolong modern pada zamannya. Dengan oven listrik buatan Jerman seharga Rp 25 juta, suhu bisa dikontrol sesuai keperluan produk. Sebuah terobosan yang mendapat tantangan keras dari keluarga dan kawan-kawan dekatnya.

”Keluarga Orion heboh. Kowe goblok, edan, duit selawe juta mbok tukok’ke oven (kamu bodoh, gila, ya, uang Rp 25 juta kau belikan oven),” kata Sanjoto yang dalam obrolan dengan Kompas, lebih banyak menggunakan bahasa Jawa.

Sanjoto bergeming karena baginya Orion harus menghadapi zaman baru. Zaman di mana roti tidak lagi dibuat dengan oven kayu bakar, roti tak lagi dijual dengan pikulan, atau dengan gerobak surungan seperti dilakukan ayahnya saat merintis usaha roti. Kualitas rasa baginya tidak bisa ditawar-tawar, berapa pun harga yang harus ia bayar.

”Saya bilang, kalau mau kerja, ya, mesti kerja yang bener. Jadi, saya nekat dan istri saya juga ngotot. Bagi saya, oven itu nyawanya pabrik roti,” kata Sanjoto yang bahu-membahu dengan Kwee Giok Ing, istrinya, yang ia nikahi tahun 1969.

Pada jelang akhir era 1970-an, Sanjoto melihat tren gaya hidup orang yang memburu oleh-oleh khas sebuah kota. Dia melihat perlunya ada semacam one stop shopping khusus penganan. Maka, pada 1977, Orion tidak lagi hanya menjual roti, tetapi juga berbagai kue, penganan.

”Siapa saja yang titip kami terima. Ada istri polisi jual kacang dibungkus kecil-kecil juga kami terima ha-ha-ha.” kenang Sanjoto. Satu hal yang dipegang Sanjoto, ia harus mengontrol kualitas. Intinya, dia tidak mau mengecewakan konsumen.

Mandarijn dan roti semir
Roti Orion merupakan salah satu produsen roti ”tua” di Kota Solo. Ada perusahaan lain hampir sejaman, seperti Ganep, Oen, Babah Setoe, Luwes, Varia, dan Priyayi. Di antara perusahaan roti itu, Orion dikenal khalayak luas, utamanya, dengan Mandarijn dan roti semirnya. Kue Mandarijn adalah sejenis lapis surabaya yang punya lapisan warna kuning-coklat-kuning. ”Ayah saya enggak mau meniru, dia bikin sendiri lapisannya kuning dan coklat saja,” kata Sanjoto tentang lapis surabaya ala Solo itu.

”Saya pernah tanya kepada ayah mengapa dinamai Mandarijn. Katanya artinya priyayi cino,” kata Sanjoto yang telah mematenkan nama produknya.

Semula, produk ini dititip jual di sejumlah rumah makan. Belakangan rasanya dikenal dan menjadi suguhan wajib resepsi perkawinan. Pada era 1960-an, nama Mandarijn sudah cukup terkenal di Solo. Dulu Mandarijn dikemas dalam besek dari anyaman bambu dan belakangan menggunakan kotak kardus.

Selain Mandarijn, Orion juga dikenal dengan roti semir. Kue berbentuk setengah bola, di bagian belahan tengahnya diolesi mentega sehingga terkesan seperti disemir.

Hoki dan kejujuran
Sanjoto seorang penikmat lukisan. Sekitar 200-an lukisan ia kumpulkan bersama istrinya, Giok Nie, yang dinikahinya tahun 1995. Karya seni itu kini menghuni museum pribadi P Sanjoto yang terletak persis di samping toko roti. Cucunya, Adrian Kuo Wei Xing, juga mulai menggemari karya seni. Di sana tersimpan antara lain karya Mochtar Apin, Soedjojono, Basoeki Abdullah, Trubus, Hendra Gunawan, Affandi, Soedjojono, Popo, Iskandar, Jeihan, dan Nasirun.

”Lukisan-lukisan itu dulu meringkuk puluhan tahun. Jangan sampai dimakan rayap. Rasanya saya kelara-lara (sakit hati). Saya carikan tempat yang baik,” kata Sanjoto tentang museum pribadinya.

Sebagian lukisan diperoleh Sanjoto karena faktor hoki atau keberuntungan. ”Saya bertemu kolektor yang jual ombyokan lukisan-lukisan yang tidak diopeni (dirawat). Itu juga faktor hoki.”

Sanjoto percaya pada unsur hoki atau keberuntungan, selain tentu saja kerja keras. Hoki itu, misalnya, ia masuk pada waktu yang tepat. Ia memberi misal Orion yang menangkap gaya hidup orang membutuhkan kemudahan berbelanja di satu tempat sudah mendapatkan segalanya atau membeli oven pada saat yang tepat.

”Hoki itu wrrrr… jalan-jalan di depan hidung kita. Nah, kalau lagi wrrrr itu kita tangkap. Tetapi, kalau kita tidak kerja keras yang nyungslep. Hoki akan jalan-jalan thok,” kata Sanjoto beribarat.

Bagi Sanjoto, hoki bukan segalanya. Ia kurang setuju dengan pepatah Hokian yang mengatakan bahwa kepandaian itu nomor dua dan yang nomor satu adalah hoki. ”Menurut saya, nomer satu itu kejujuran. Orang kerja mesti bermoral, mesti jujur. Jangan greedy, murko,” kata Sanjoto dalam bahasa Inggris dan Jawa yang artinya sama, rakus.

Mungkin, itu salah satu jawaban mengapa Orion bertahan sampai 85 tahun.

Purwohadi Sanjoto
Nama Lahir: Njoo Tik Tjiong,
Lahir: Solo, 4 Juni 1934
Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1956

FRANS SARTONO

Sumber: Kompas, 7 Mei 2018

No comments:

Post a Comment