Monday, April 1, 2019

Dolken, Berjuang dengan Porang

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS----Dolken (41) petani porang di Kendari, Sulawesi Tenggara, ditemui di lahan tempatnya menanam, Selasa (23/3/2021)

Meski bergelar magister ilmu hukum perdata, jalan kehidupan mengarahkan Dolken menjadi petani porang. Ia menemukan berbagai metode baru budi daya umbi-umbian bernilai tinggi tersebut.

Serupa peneliti yang tuntas dengan bidang risetnya, Dolken (41) fasih bercerita detail terkait tanaman porang dari hulu ke hilir. Tak hanya sekedar teori, magister hukum yang tidak mempunyai latar belakang bertani ini “merekayasa” pola tanam, hingga waktu mati suri tanaman porang secara otodidak. Ilmu per-porang-an yang ia miliki turut disebarkan ke banyak orang.

Di sore yang mulai bergemuruh, Senin (22/3/2021), Dolken berjalan di sela tanaman porang di halaman belakang rumahnya. Lahan seluas delapan are di Hombis, Wuawua, Kendari, Sulawesi Tenggara, tersebut telah diolah, dan sebagian besar telah tertanami porang (Amorphopallus muelleri). Beberapa bagian disiapkan kosong untuk persiapan menanam di setiap bulannya.

Kegiatan sorenya terjadwal beberapa bulan terakhir. Selain menanam, ia rutin menyiangi porang yang telah tumbuh setinggi lebih dari satu meter. Tangannya ringkas merapikan rumput yang mulai tumbuh di sela-sela tanaman. Seringkali tak lupa mengelus daun, atau "menyapa"  tanaman asli zona khatulistiwa ini.

Kegiatan yang sama ia lakukan pada pagi hari. Sejak matahari meninggi, ia memberi pupuk organik yang disiapkan. Mencabut rumput, juga merapikan lahan untuk kembali menanam bibit. Rutinitas ini telah berlangsung hampir satu tahun terakhir.

“Pagi menyiangi, kasih pupuk. Sama juga kalau sore. Kalau malam beda lagi. Di situ perlakuan khusus kita lakukan. Karena proses menanam yang kita lakukan itu berbeda dengan yang lain. Kalau biasanya porang itu hanya menanam ketika musim hujan, saya menanam di luar musimnya,” kata Dolken sumringah. "Ada yang saya tanam bulan lalu, dan ada yang baru saja ditanam. Nanti saya akan coba setiap bulan menanam. Kalau dibilang, lahan ini tempat riset saya," tambahnya.

Selain menyiangi dan memupuk tanaman, Magister hukum perdata Universitas Airlangga ini, juga sibuk merawat bibit porang yang di teras rumah. Lebih dari 2.000 umbi ditata dalam sejumlah rak. Bobot umbi ini bervariasi dari hanya kisaran gram, hingga yang beratnya mencapai empat kilogram. Bibit ini dihasilkan sendiri dari tanaman di belakang rumah, untuk dikembangkan kembali ke sejumlah tempat.

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS---Dolken (41) petani porang di Kendari, Sulawesi Tenggara, ditemui di lahan tempatnya menanam, Selasa (23/3/2021)

Serupa pola tanam yang ia lakukan, bibit ini juga memerlukan perlakuan khusus. Kelembaban dan cahaya adalah hal yang ia jaga selama masa dormansi. Masa dormansi adalah masa berhentinya tumbuh kembang tanaman. Masa “mati suri” ini banyak dialami tanaman akibat faktor kimiawi, fisik, dan faktor lainnya.

Pada tanaman porang, masa dormansi bisa hingga tujuh bulan. Dolken yang melakukan penelitian mandiri, menemukan cara agar masa dormansi tanaman ini bisa disingkat menjadi hanya maksimal 1,5 bulan. Cara tersebut memerlukan "ritual" khusus.

Dengan perlakuan yang ia lakukan pada bibit, waktu menanam tanaman juga berubah. Waktu tanam porang ini biasanya dilakukan ketika musim penghujan tiba untuk mencukupi kebutuhan air. Akan tetapi, dengan racikan metode khusus temuannya, menanam di luar waktu tanam pun bisa ia terapkan.

Menanam di luar waktu menanam memang menjadi fokus yang ia kembangkan berbulan-bulan terakhir. Selain menyingkat masa panen, pola tersebut bisa membuat keuntungan yang cukup besar meski bertanam di lahan yang sempit.

Ia mengkalkulasi, dengan lahan seluas delapan are (800 meter persegi) yang merupakan pinjaman tetangganya, ia bisa menghasilkan ribuan bibit. Dari bibit tersebut, bisa ditanam kembali dalam waktu yang dekat. Sebagian bisa dijual kembali.

“Jika orang panen dalam satu masa tanam atau satu tahun, maka dengan pola yang saya kembangkan bisa dua kali panen,” tuturnya. Ia melanjutkan, “dengan keuntungan sekitar Rp 70 juta satu kali tanam, berarti satu tahun bisa ratusan juta. Seperti hasil panen yang pertama lalu tidak saya jual. Tetapi saya tanam kembali sekaligus mendapatkan bibit.”

Dengan pola itu, ia saat ini telah menjadi konsultan sebuah perusahaan pertanian di Konawe. Di lahan seluas dua hektar, ia menanam sekitar 2.000 bibit. Pola tanam yang ia kembangkan menjadi pola yang diterapkan di lahan tersebut. Perusahaan ini ke depannya akan mengembangkan umbi porang hingga produk turunan.

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS---Dolken (41) petani porang di Kendari, Sulawesi Tenggara, ditemui di lahan tempatnya menanam, Selasa (23/3/2021)

Riset bulanan

Dolken tidak memiliki embrio petani. Orang tuanya adalah pedagang kecil-kecilan. Besar di Baubau, ia lalu melanjutkan kuliah di Universitas Hukum Universitas Halu Oleo (UHO). Setelah lulus, ia menjadi karyawan BUMN selama bertahun-tahun.

Haus akan ilmu, ayah tiga anak ini lalu melanjutkan studi magister di Unair, Surabaya. Setelah selesai, dan melanjutkan bekerja, pria yang juga pemusik ini merasa ada yang tidak sesuai dengan idealismenya dalam bekerja. Ia lalu memutuskan keluar dan menjadi konsultan di perusahaan pertambangan.

Sejak saat itu pula ia mencari tahu semua hal terkait porang. Mulai dari jenis, lingkungan endemik, khasiat dan kegunaan, serta teknik menanam. “Saya tidak mau bantah, bahwa awal mula perkenalan dengan porang ini motifnya tentu ekonomi. Apalagi melihat tanaman teman yang seluas dua hektar dan telah ditawar hampir Rp 2 miliar,” kata Dolken.

“Namun, setelah mencari tahu tentang porang ini, yang dipakai di 20 industri, mulai dari makanan hingga teknologi pesawat saya jatuh hati dengan tanaman ini. Andaikan tidak laku pun masih bisa diolah untuk dimakan.”

Umbi porang memang memiliki banyak manfaat. Selain sebagai bahan baku mi dan beras shirataki, makanan favorit di Jepang, umbi porang bisa diolah untuk bahan baku tahu. Makanan ini memiliki nilai karbohidrat yang tinggi, dan glukomanan. Meski begitu, karena mengandung sianida, umbi porang perlu diolah secara khusus.

Tidak hanya makanan, umbi porang juga bisa diolah untuk industri kecantikan, bahan baju anti peluru, isolastor listrik, hingga bagian dalam pesawat. Manfaat dan nilai ekonomis yang tinggi ini membuat porang menjadi idola baru untuk dikembangkan.

Dengan riset yang dilakukan selama hampir tiga bulan, Dolken lalu membuat modul sendiri. Manfaat, jenis, karakteristik, pengolahan, hingga cara menanam ia buat. Modul tersebut lengkap dengan rencana anggaran dalam memulai usaha tanaman porang.

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS---Dolken (41) petani porang di Kendari, Sulawesi Tenggara, ditemui di lahan tempatnya menanam, Selasa (23/3/2021)

Tidak hanya itu, ia lalu ke sejumlah tempat seperti di Konawe Kepulauan dan Konawe Selatan untuk Mencari bibit. Setelah kembali, ia mulai menanam. Sejumlah bibit juga dibeli sebagai bahan perbandingan. Dengan pupuk organik buatan warga Sulawesi Tenggara, ia menemukan cara mengembangkan porang yang jauh lebih efektif.

“Dari jarak tanam saja yang normalnya itu 50 centimeter, saya ubah jadi 20 cm. Pola tanam yang terbaik di musim hujan, saya cari cara agar bisa ditanam di semua musim. Umbi yang memiliki masa dormansi berbulan-bulan, saya persingkat menjadi satu bulan. Saya sudah mencoba, dan ternyata bisa,” tuturnya.

Ilmu yang ia dapatkan tidak hanya untuk dirinya sendiri. Rekan, kerabat, atau orang yang tertarik dengan porang, rutin berkunjung ke kediamannya, atau ia yang mengunjungi langsung. Dolken juga memebntuk kelompok bernama Kepakan, atau Kelompok Petani Keren Kendari. Anggotanya delapan orang yang semuanya adalah teman yang memang telah dikenalnya.

Menurut Dolken, ia sengaja membuat kelompok dengan luas lahan dua hektar agar bisa fokus menerapkan Ilmu sekaligus menyebarkan semangat menanam ke banyak orang. Dengan manfaat luas porang yang ia yakini, tanaman ini bisa bermanfaat bagi banyak orang.

Melalui porang, tutur Dolken, para petani bisa semakin sejahtera dan hidup lebih makmur. Nilai jual porang yang tinggi, dan minat pasar yang juga sedang bergeliat, menjadi momentum untuk menciptakan pasar sendiri. Lebih jauh lagi, ia bermimpi agar semua petani bisa menjadi lebih merasakan manfaat dari tanaman yang menjadi fokus.

“Petani itu dari dulu seharusnya sejahetera. Tapi karena informasi yang terbatas, dan sistem yang tidak mendukung, mereka selalu hanya mendapat capeknya saja. Saya kira sudah saatnya petani kita berjaya dengan porang. Mimpi saya jika tanaman ini bisa ditanam banyak orang, diolah oleh anak-anak muda, dan dikembangkan menjadi banyak hal baru ke depannya,” ucapnya.

Dolken

Lahir : Makassar, 10 Agustus 1980

Pendidikan:

Magister Hukum Perdata Universitas Airlangga, Surabaya

Sarjana Hukum Universitas Halu Oleo, Kendari

Keluarga

Istri: Mulyati

Anak:

- Alfath Abiyyu Ghita Semesta (7)

-.Alayya Farhana Fathiathurrahima (5))

-. Alyya Firzana Fathiathurrahima (5)

-. Aura Fathima Az-Zahra (4)

Oleh   SAIFUL RIJAL YUNUS

Editor:   DAHONO FITRIANTO

Sumber: Kompas, 30 Maret 2021

No comments:

Post a Comment