Saturday, April 6, 2019

Elsa Maharrani, Menjahit Kesejahteraan dari Pinggiran Kota Padang

KOMPAS/YOLA SASTRA----Elsa Maharrani, pemilik usaha Maharrani Hijab ketika ditemui di rumahnya, Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa (23/3/2021).

Lewat usaha jahit, Elsa Maharrani memberdayakan para tetangganya yang kebanyakan perempuan. Mereka diajak bergabung sebagai mitra penjahit produk Maharrani Hijab.

Berwirausaha bukan sekadar perkara mencari untung. Bagi Elsa Maharrani (31), pengusaha pakaian muslim, berwirausaha juga tentang upaya mengangkat perekonomian masyarakat sekitar. Dengan prinsip itu, pemilik Maharrani Hijab ini memberdayakan puluhan perempuan di Padang, Sumatera Barat.

Sukses menjadi penjual (reseller) daring sejumlah merek pakaian muslim di Indonesia sejak 2016, lalu naik level menjadi distributor, ternyata tak cukup memuaskan hati Elsa. Meskipun sanggup meraup untung, ibu dua anak ini merasa masih ada yang kurang. Apa yang ia lakukan belum cukup berdampak bagi orang sekitarnya.

Atas kegelisahan itu, Elsa yang didukung penuh oleh suaminya memberanikan diri memproduksi merek pakaian muslim sendiri. Harapannya selain bisa mencari nafkah dari jalur ini, ia bisa pula menciptakan ladang rezeki bagi orang-orang di sekitarnya.

Berbekal pengalaman dan pengetahuan Elsa tentang bisnis pakaian muslim, penjajakan pun dimulai pada Oktober 2018. Akhir tahun, usaha ini mulai berproduksi. Elsa berkolaborasi dengan mahasiswa program studi tata busana Universitas Negeri Padang dalam membuat pola, memotong, dan menjahit pakaian.

Dengan bagusnya permintaan pasar, Elsa pun mulai mencari penjahit untuk bermitra. Ia menjajaki peluang kerja sama dengan penjahit kampung di sekitar rumahnya di Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Kota Padang.

Akan tetapi, upaya itu tidaklah mudah. Masalah upah yang tinggi menjadi hambatan. Di Padang, kata Elsa, hampir tidak ada usaha konveksi skala besar. Penjahit kampung terbiasa berusaha mandiri, bukan sistem usaha konveksi. Umumnya, mereka menerima pesanan dan mengerjakannya sendiri. Keuntungan masuk ke kantong mereka sendiri.

Penjahit kampung di Padang biasanya mematok upah jahit baju Rp 100.000-150.000 per helai. Selain kain yang disediakan pemesan, semua mereka kerjakan sendiri, mulai dari membuat pola, memotong, menjahit, termasuk biaya benang, ritsleting, dan kancing. Namun, biasanya pesanan yang masuk tidak berkelanjutan.

KOMPAS/YOLA SASTRA----Anggota tim Maharrani Hijab, usaha pakaian muslim milik Elsa Maharrani, sedang membuat pola pakaian di bengkel sebelum diserahkan kepada mitra penjahit di Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa (23/3/2021). Saat ini ada 30 orang mitra penjahit Maharrani Hijab yang sebagian besar adalah warga sekitar.

Sementara itu, upah yang ditawarkan Elsa Rp 25.000 per helai. Meskipun lebih murah, pesanan terus ada secara berkelanjutan. Pekerjaan juga lebih sederhana, yaitu menjahit pola kain yang sudah dipotong tim Maharrani Hijab. Bahan lain seperti benang, ritsleting, dan kancing disediakan Elsa, begitu pula dengan biaya kontrol kualitas sebelum dipasarkan.

Dari beberapa waktu pencarian yang sering berakhir penolakan, Elsa akhirnya menemukan mitra penjahit yang sesuai kriteria. Melalui tukang sayur di sekitar rumah, ia dipertemukan dengan seorang perempuan yang pernah bekerja di pabrik garmen di Jakarta. Penjahit tersebut menerima karena sedang menganggur, begitu pula dengan suaminya.

“Kemitraan dengan ibu itu lancar. Ia terus menjahit untuk kami hingga sekarang. Melihat itu, tetangganya mau juga bermitra. Akhirnya, mitra kami yang awalnya cuma satu, bertambah dua, tiga, lima, sepuluh, hingga sekarang jadi tiga puluh orang,” kata Elsa di rumahnya dekat pinggiran kota, Jalan Durian Tarung, Kelurahan Pasar Ambacang, Selasa (23/3/2021).

Selasa jelang tengah hari itu, Elsa sedang memantau proses praproduksi oleh tim produksi Maharrani Hijab di bengkel sebelah rumahnya. Dua laki-laki sedang mengukur kain untuk membuat pola. Seorang perempuan menyusun pola yang sudah dipotong dan seorang perempuan lainnya sedang menjahit.

Di bagian gudang, ruang bagian belakang rumah Elsa, seorang perempuan anggota tim pemasaran tengah berhadapan dengan komputer. Di loker-loker gudang, tersusun produk yang sudah dikemas dengan plastik.

Kata Elsa, proses penjahitan dilakukan oleh mitra di rumah masing-masing. Sementara itu, kegiatan praproduksi seperti pembuatan dan pemotongan pola dan kegiatan pascaproduksi seperti kontrol kualitas dan pengemasan di lakukan di rumah Elsa dan bengkel itu.

Selain baju gamis, Maharrani Hijab juga memproduksi baju koko, mukena, jilbab, seragam dinas, hingga masker. Untuk kategori pakaian saja, industri rumahan ini bisa memproduksi 1.500-2.000 helai per bulan. Adapun harga produk Maharrani Hijab di pasaran, misalnya, baju gamis Rp 200.000-300.000 dan baju koko Rp 180.000-200.000.

Usaha sosial

Menurut Elsa, jika sekadar berbisnis, ia sebenarnya bisa saja menggunakan jasa para penjahit di sentra konveksi di daerah lain, seperti Bandung, Jawa barat. Upah penjahit di sana jauh lebih murah dibandingkan upah yang ia tawarkan kepada mitra penjahit di Padang. Walakin, Elsa tidak melakukannya. Ia memilih mengawinkan bisnis dengan pemberdayaan masyarakat.

Dari perhitungan Elsa, di Padang, ia mengeluarkan biaya produksi gamis sekitar Rp 45.000 per helai. Ongkos tersebut antara lain upah jahit Rp 25.000 per helai, biaya pembuatan dan pemotongan pola, biaya kontrol kualitas, serta biaya lainnya seperti benang, ritsleting, dan kancing.

Adapun di Bandung, teman Elsa pernah menawarkan menjahit baju gamis dengan ongkos produksi Rp 30.000-35.000 per helai. Elsa cuma mengirimkan kain sedangkan pembuatan dan pemotongan pola, penjahitan, dan kontrol kualitas dilakukan oleh mitra di sana. Biaya benang, ritsleting, kancing, mesin jahit, dan alat ditanggung oleh mitra.

“Kenapa harus produksi Padang? GDP (pendapatan domestik bruto) Sumbar, termasuk Padang, relatif rendah dibandingkan daerah lain. Sumbar beli semuanya dari Jawa. Produksi kain dan penjahitan di Jawa, baru pakaiannya dibawa ke Padang. Kalau semua dioper ke Jawa, uang tidak akan berputar di Padang,” ujar Elsa.

Data BPS menyebutkan, pendapatan domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha di Padang tahun 2019 adalah Rp 62.424,55 miliar. Sementara itu, PDRB pada kategori yang sama di Bandung tahun 2019 adalah Rp 288.460,88 miliar.

KOMPAS/YOLA SASTRA----Anggota tim Maharrani Hijab, usaha pakaian muslim milik Elsa Maharrani, sedang menyusun pola pakaian di bengkel sebelum diserahkan kepada mitra penjahit di Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa (23/3/2021). Saat ini ada 30 orang mitra penjahit Maharrani Hijab yang sebagian besar adalah warga sekitar.

Dengan pemikiran itu, Elsa berupaya agar uang dari kalangan menengah mengalir kepada kalangan kalangan ekonomi rendah di Padang. Saat ini, dalam sebulan, Elsa mengeluarkan Rp 30-50 juta per bulan untuk upah 30 orang mitra penjahit.

Elsa menjalankan usahanya dengan memberdayakan warga sekitar. Sekitar 70 persen mitra Maharrani Hijab adalah tetangga Elsa dan masyarakat di Kelurahan Pasar Ambacang. Sisanya tersebar di beberapa lokasi di Kota Padang. Adapun dari segi gender, 80 persen dari mitra adalah perempuan.

Para mitra menjahit menggunakan mesin jahit mereka sendiri. Namun, bagi yang tidak punya atau mesinnya perlu diganti, Maharrani Hijab meminjamkannya atau membantu membelikan mesin yang kemudian dibayar mitra secara kredit tanpa bunga.

Menangkap peluang

Di saat pandemi Covid-19 menjadi momok bagi sebagian besar pengusaha, Elsa justru menangkap peluang dari kondisi ini. Konsep pemasaran secara daring yang diusung sejak awal menjadi berkah. Angka penjualan produk Maharrani Hijab meningkat berkali-kali lipat. Mitra penjahit pun bertambah signifikan untuk memenuhi permintaan pasar.

“Dampak pandemi Covid-19 justru positif bagi Maharrani Hijab. Saat pandemi orang tidak berbelanja ke mal tetapi beralih ke cara daring. Peningkatan penjualan mencapai tiga kali lipat, dimulai pada Juni-Juli 2020. Sejak saat itu sampai sekarang penjualan terus meningkat,” kata Elsa.

Elsa memasarkan produknya melalui agen, yang sekarang jumlahnya 40 orang di Indonesia. Setiap agen punya pasukan reseller masing-masing. Mereka menjual produk melalui lokapasar, seperti Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak. Selain itu, ada pula yang menjual melalui media sosial Facebook dan Instagram.

Dari segi produksi, Maharrani Hijab juga tidak terganggu. Di saat perusahaan lain mesti menutup pabrik karena pembatasan sosial skala besar (PSBB), perusahaan Elsa terus berproduksi. Sebab, proses penjahitan dilakukan di rumah mitra masing-masing sehingga tidak terdampak PSBB.

Menurut Elsa, selain memahami selera pasar, kualitas produk juga menjadi kunci keberhasilan Maharrani Hijab memasarkan produk secara daring. Produk Elsa menyasar kalangan menengah yang relatif baik secara finansial. Kalangan ini rela mengeluarkan uang lebih untuk mendapatkan produk yang bagus.

Oleh sebab itu, Elsa sangat serius dalam hal kontrol kualitas. Jika produk dari mitra tidak sesuai standar, ia tidak segan untuk mengembalikannya. “Ketika pembeli puas dengan produk kita, pemesanan ulang (repeat order) produk akan tinggi,” ujarnya.

‘Menjahit’ kesejahteraan

Bagusnya penjualan Maharrani Hijab berbanding lurus dengan pendapatan masyarakat sekitar yang diberdayakan Elsa. Secara bertahap, kesejahteraan mitra mengalami peningkatan. Hal tersebut semakin bermakna karena tak sedikit di antara mitra itu yang berasal dari kalangan terdampak langsung pandemi Covid-19, terutama saat masa-masa awal virus itu menyebar di Sumbar.

Di antara mitra itu, ada penjahit kampung yang tidak bisa menerima pesanan karena toko kain di Pasar Raya Padang tutup karena jadi kluster Covid-19. Ada yang suaminya kesulitan mencari uang dari mengojek daring karena waktu itu tidak dibolehkan mengangkut penumpang. Ada pula yang tidak bisa menjajakan bakso di sekolah karena pembelajaran dilangsungkan secara daring.

KOMPAS/YOLA SASTRA----Susi Meiniyeti (37), mitra Maharrani Hijab, sedang menjahit pakaian gamis di rumahnya, Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa (23/3/2021). Dari kegiatan ini, Susi bisa mengumpulkan upah Rp 1 juta-1,5 juta rupiah selama dua pekan.

Kata Elsa, rata-rata mitra Maharrani Hijab bisa mengantongi upah Rp 1,5 juta per bulan. Ada pula yang mencapai Rp 2,5 juta per bulan, lebih tinggi dari upah minimum Kota Padang Rp 2,484 juta per bulan. Bagi yang benar-benar fokus, tidak menyambi, bisa mendapatkan upah Rp 4 juta per bulan.

“Kecuali yang laki-laki, mitra kami menyambi. Mereka menjahit dari rumah di sela-sela tugas utama sebagai ibu rumah tangga. Jadi, selain mengurus anak dan rumah tangga, mereka bisa membantu perekonomian keluarga,” ujar Elsa.

Susi Meiniyeti (37), mitra di Kampung Villa Tarok, sekitar 1 kilometer dari bengkel Elsa, mengatakan, kerja sama dengan Maharrani Hijab telah membantu perekonomian keluarganya. Dalam dua pekan, Susi bisa mengumpulkan upah Rp 1-1,5 juta. “Dengan upah ini, saya bisa membantu kebutuhan rumah tangga. Suami saya bekerja sebagai kuli bangunan,” kata Susi.

Susi menggunakan waktu senggangnya sebagai ibu rumah tangga untuk menjahit. Seusai memasak dan mencuci pukul 10.00 atau 11.00, ia mulai menjahit hingga pukul 16.00 atau 17.00. Jika ada waktu senggang pada malam hari, Susi juga mengisinya dengan menjahit. Dalam sehari, bisa menyelesaikan empat helai gamis.

Ibu dua anak itu mulai bermitra dengan Elsa sejak Januari 2020. Ia mengenal Elsa dari eteknya yang sudah lebih dahulu bermitra. Sebelumnya, Susi adalah penjahit kampung. Namun, karena pesanan sedikit dan tidak berkelanjutan, ia tertarik berkerja sama dengan Maharrani Hijab. Keputusan itu tepat karena pada Idul Fitri 2020, banyak penjahit kampung kehilangan pendapatan karena pandemi.

Menurut Susi, upah menjahit kampung memang lebih besar dibandingkan upah dari Maharrani Hijab. Untuk gamis, misalnya, penjahit kampung bisa mendapat Rp 100.000 per helai. Meskipun upah lebih besar, pekerjaannya juga lebih rumit karena pembuatan dan pemotongan pola dikerjakan sendiri. Biaya benang, kancing, dan ritsleting ditanggung penjahit. Pekerjaan bisa selesai dalam sehari tetapi pesanan tidak masuk setiap hari.

Peningkatan kesejahteraan mitra Elsa pun memotivasi para tetangga lainnya untuk ikut menjahit. Padahal, sebagian dari mereka tidak punya dasar keterampilan menjahit sama sekali. Para tetangga itu juga ingin produktif seperti mitra Maharrani Hijab.

Dari orang 30 mitra, hanya mitra laki-laki dan 30 persen mitra perempuan yang berpengalaman sebagai penjahit. Sementara itu, 70 persen mitra perempuan lainnya baru belajar menjahit. “Ada yang awalnya cuma pandai manghoyak-hoyak masin (mengoyang-goyangkan mesin). Sekarang sudah bisa menjahit baju,” ujar Elsa.

Para pemula itu belajar menjahit kepada tetangga. Sementara itu, Elsa mengoreksi hasil jahitan mereka agar bisa sesuai standar. Walaupun butuh waktu berbulan-bulan, tidak sedikit yang berhasil dan bermitra dengan Maharrani Hijab hingga sekarang.

Ke depan, Elsa punya target untuk memperluas dampak usahanya dengan bermitra dengan ribuan orang. Ia berharap pemberdayaan yang dilakukan tidak hanya skala kelurahan tetapi provinsi. Konsep yang ia gunakan sekarang bisa diduplikasi ke kecamatan-kecamatan lain.

“Namun, yang terpenting sekarang, kami kokohkan dulu sistem di sini. Ini bisa menjadi solusi bagi ibu rumah tangga agar lebih produktif sehingga bisa membantu perekonomian keluarga,” ujar Elsa.

Elsa Maharrani

Lahir: Padang, 5 Maret 1990

Pendidikan: S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas (lulus 2012)

Pekerjaan: Pemilik Maharrani Hijab

Penghargaan:

Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Award bidang Kewirausahaan (2020)

Finalis Wirausaha Muda Mandiri (2020)

Oleh   YOLA SASTRA

Editor:  bBUDI SUWARNA

Sumber: Kompas, 7 April 2021

No comments:

Post a Comment