Wednesday, June 16, 2021

Bisnis Minimarket Masihkah Menguntungkan?


Menjamurnya usaha waralaba di lndonesia tak lepas dari kebutuhan sebagian kalangan bermodal tebal yang berkeinginan memiliki usaha pribadi. Kerap kali, keputusan investor menanamkan modalnya dengan membeli lisensi waralaba atas pertimbangan pengetahuan dan pengalaman.

Sebagian besar dari para investor sadar tak memiliki pengalaman dalam bisnis perdagangan ritel, sehingga pilihan berinvestasi dengan sistem waralaba merupakan keputusan yang paling masuk rasional.

“Pengembangan minimarket dengan sistem waralaba merupakan sistem investasi yang paling memungkinkan untuk saat ini, ” ujar Ketua Harian Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta.

Bagi pemilik modal yang ingin mempunyai bisnis pribadi, lanjutnya, memilih sistem waralaba tentu dengan pertimbangan kemudahan karena dari sisi perizinan dan kelengkapan lainnya tentu tak akan segampang dengan mengembangan bisnis ritel yang dibangun sendiri.

Meski bisnis waralaba di Indonesia dipagari dengan aturan baru Menteri Perdagangan No.53 /2012 yang terbit Agustus silam, hal tersebut belum tentu menyurutkan minat investor yang ingin mengembangkan usaha minimarket waralaba di Tanah Air.

Menurut Tutum, keberhasilan bisnis yang dikembangkan oleh investor sebenarnya bertumpu pada kemampuan dan daya tahan pemilik waralaba (terwaralaba) dalam mengembangkan usaha yang dimiliknya.

“Kalau pemiliknya tidak jeli dan manajemennya kurang baik, bisa saja bisnisnya akan mati dengan sendirinya. Dengan banyaknya gerai waralaba sekarang ini, masyarakat semakin punya beragam pilihan,” ungkapnya saat ditanya mengenai daya saing antara pengembang minimarket waralaba saat ini.

Setiap investor maupun pengusaha punya perhitungan tersendiri, sebelum memutuskan mengembangkan usahanya. Sebut saja masuknya ritel asing, seperti Lawson Station, Circle-K, maupun 7-Eleven tentu dengan mempertimbangkan peluang pasar.

“Kalau mereka tidak melakukan survei awal, nggak mungkin mereka berani memutuskan masuk dan mengembangkan usahanya di sini,” tegas Tutum.

Wakil Presiden Direktur PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk, pengelola minimarket Alfamart, mengatakan ketatnya persaingan di sektor ritel ini secara otomatis memengaruhi lamanya balik modal.

Saat ini, bila pemilik minimarket tidak piawai dalam mencari lokasi yang strategis dan tidak mampu mengelolanya dengan baik, dipastikan balik modal usahanya bisa lebih dari 4 tahun, berbeda dengan beberapa tahun lalu yang bisa mencapai break event point (BEP) dalam 3-4 tahun.

 “BEP [break event point] kurang lebih 3-4 tahun, i111 pun hams cari lokasi yang bagus,” kata Pudjianto.

Kelayakan BEP
Menurutnya, sebelum memutuskan untuk memberikan lisensi, biasanya pemilik merek waralaba memperhitungkan kelayakan kembali modal. Jika dinilai lokasi yang disodorkan terwaralaba tidak menjanjikan maka diputuskan lebih baik tidak direalisasikan.

“Dulu [persaingan] tidak terlalu banyak. Artinya jumlah minimarket belum banyak. Persaingan itu menyebabkan perlambatan growth sales,” kata Pudjianto.

Namun, lanjutnya, bisnis minimarket tetap menjanjikan. Mengingat lokasi yang bagus masih terbuka di sejumlah tempat. Terlebih lagi gaya hidup masyarakat telah berubah. Kebutuhan akan toko modern terus menunjukkan tren yang meningkat.

Dia mengatakan di samping persaingan yang semakin sengit, besarnya modal yang dibutuhkan serta meningkatnya biaya operasional terutama untuk menggaji karyawan, menyebabkan terjadinya perlambatan kembalinya modal tersabut.

Untuk berusaha minimarket, setidaknya terwalaba mengontrak dua ruko yang biasanya disewakan dengan harga Rp 50 juta setiap rukonya. Sewa tersebut mesti dilakukan selama 5 tahun sekaligus sehingga biaya sewa telah mencapai Rp 500 juta.

Sementara untuk biaya renovasi  dan perizinan membutuhkan modal sekitar Rp 400 juta. Untuk isi barang, dipinjamkan oleh pemilik merek minimarket berwaralaba, sehingga modal yang mesti disiapkan terwaralaba setidaknya sekitar Rp 900 juta-Rp 1 miliar.“[Kalau 10 tahun lalu sekitar] Rp 600 juta.”

Invasi minimarket ke area permukiman menjadi perhatian khusus Kementerian Perdagangan. Institusi itu mendapati fakta bahwa banyak minimarket didirikan hingga ke pelosok-pelosok tanpa melibatkan kepemilikan oleh masyarakat setempat.

Minimarket yang memang sebagian besar dijalankan dengan sistem waralaba umumnya masih dimiliki pemberi waralaba (franchisor). Sayangnya, Kemendag tak tahu pasti jumlah minimarket yang didirikan di daerah-daerah karena pemda selama ini tak melaporkan perkembangan penerbitan izin.

Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Gunaryo berpendapat tidak menjadi soal minimarket didirikan di mana pun asalkan bermitra dengan masyarakat setempat agar terjadi pemerataan kesempatan berusaha.

“Kalau dimiliki orang lokal, sebetulnya tidak masalah kan? Akan jadi masalah kalau saya orang Jakarta, memiliki minimarket di Cianjur atau Sukabumi," ujarnya.

Sebagaimana diatur dalam Pemendag No. 53/2008 tentang penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, pendirian minimarket diutamakan untuk diberikan kepada pelaku usaha yang domisilinya sesuai dengan lokasi minimarket dimaksud.

Bahkan dalam waktu dekat, Kemendag akan menerbitkan beleid anyar untuk mempertegas distribusi kepemilikan minimarket waralaba. Terhadap minimarket yang telah diwaralabakan, Kemendag akan memberikan logo.

Hal itu akan diatur terperinci dalam permendag mengenai waralaba ritel, rumah makan dan rumah minum yang kini masih dibahas. Soal lokasi waralaba, Gunaryo menyampaikan pihaknya memang tidak dapat mengatur secara detail.

Menurutnya, masalah pengaturan jarak tetap berada di ranah pemda mengingat kondisi sosial ekonomi yang berbeda di tiap daerah. Adapun pemerintah pusat hanya memberikan pedoman yang selanjutnya diperinci oleh pemda. “Di itu sudah diatur bagaimana mengatur jarak. Hanya pemda belum cukup memanfaatkan,” ujarnya. (Sri Mas Sari) (redaksi@bisnis.co.id)

Sumber: Bisnis Indonesia, edisi Minggu, 9 September 2012

No comments:

Post a Comment