Wednesday, June 16, 2021

Antara Ketegasan & Kejelasan dalam Bisnis Minimarket

Fenomena menjamumya pasar modern seperti hypermarket, supermarket, dan minimarket dalam kawasan tertentu, terutama di daerah perumahan berpotensi mengancam keberadaan produk.

Apalagi dengan diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas antara Indonesia dan China, Asean –China Free Trade Area, Indonesia justru menjadi pasar tujuan produk impor dan pasar modern yang menjadi jembatan utama peredaran produk tersebut.

Ketua Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (APSMI) Susanto mengatakan dengan diterbitkannya Permendag No. 53/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba yang antara lain mengatur kewajiban bagi waralaba agar menggunakan bahan baku, peralatan, dan menjual barang dalam negeri sedikitnya 80%, setidaknya mampu mengurangi peredaran produk impor di Tanah Air.

Dia mencontohkan saat ini, tidak hanya produk pakaian atau makanan yang berlabel ‘made in China’, produk mainan anak-anak juga sudah banyak yang diimpor dari negara itu. Padahal, kemampuan pasok dan kualitas dalam negeri untuk produk-produk tersebut tidak kalah dengan produk impor.

“Bila perlu, produk dalam negeri yang dijual di pasar modern itu tidak hanya 80%, tetapi 90% karena itu bentuk keberpihakan kita terhadap usaha lokal. Jangan sampai pasar kita malah didominasi oleh barang-barang impor,” ujarnya.

Dalam Pasal 19 Ayat 1 , Permendag No 53/2012 itu disebutkan pemberi waralaba dan penerima waralaba wajib menggunakan bahan baku, peralatan usaha, serta menjual barang dagangan paling sedikit 80% barang dan/atau jasa produksi dalam negeri.

Selanjutnya, pada Pasal 20 disebutkan pemberi waralaba harus bekerja sama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah setempat sebagai penerima waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa sepanjang memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba.

Dari segi aturan, kata Susanto, peraturan yang ada sebenarnya sudah menunjukkan keberpihakan kepada produk dalam negeri, termasuk Permendag Nomor 53/2008 tentang Pedoman Penataan dan pembinaan Pasar tradisional serta Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.

Hanya saja, imbuhnya, kalangan industri, produsen, dunia usaha nasional menginginkan adanya ketegasan dan kejelasan menyangkut sejumlah masalah, terutama soal pengawasan dan law enforcement dari aturan tersebut.

Selain itu, perlu adanya kejelasan status untuk kafetaria atau minimarket tertentu yang dinilai ‘berkelamin ganda’. “Kalau minimarket ya minimarket, kalau café ya café. Jangan izinnya dibilang untuk kafe atau restoran, tetapi di sana juga ada minimarketnya. Harusnya dalam aturannya dipertegas dan diperjelas,” katanya.

Harqa Murah
Terkait dengan tekanan dari pemilik toko untuk para pemasok agar mendapatkan harga lebih murah, Susanto mengungkapkan sebenarnya soal harga sudah diatur dalam Permendag Nomor 53/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional serta Pusat Perbelaniaan dan Toko Modern, sehingga pemilik toko tidak bisa sembarangan menekan pemasok menyangkut masalah harga.

Secara keseluruhan Permendag No 53/2008 yang merupakan turunan dari Perpres Nomor 112 Tahun 2007 itu sudah dinilai bagus dan sesuai dengan harapan pengusaha. Hanya saja, masih ada sekitar 10% aturan yang memerlukan perbaikan dan penjelasan lebih lanjut.

Selain menyangkut pengawasan yang harus dipertegas dan diperkuat, masalah sanksinya harus lebih jelas.

“Juga kalau orang ada masalah, ribut, dan segala macamnya, bagaimana cara menyelesaikannya? Kan tidak ada pedomannya. Harusnya ada juklak [petunjuk pelaksanaan] yang tegas tentang pembinaan, pengawasan, dan sanksinya.

Untuk itu, lanjut Susanto yang tergabung dalam Forum Komunikasi Perpasaran, pihaknya mengusulkan beberapa tata cara penyelesaian masalah atau konflik yang terjadi antara pemasok dan peritel.

Tata cara penyelesaian masalah itu yakni, pertama, kalau pemasok bermasalah dengan pihak retailer, sebaiknya si pemasok berusaha menyelesaikannya sendiri. Selanjutnya, apabila pemasok tidak mampu menyelesaikannya sendiri, dia harus mengadu kepada induknya, yakni asosiasi yang menaungi usahanya. Dengan demikian, asosiasinya bertemu dengan retailer yang bermasalah.

Tata cara selanjutnya, kalau persoalan itu tidak bisa diselesaikan oleh asosiasi dengan retailer, asosiasi pemasok bisa meminta bertemu dengan asosiasi induk retailer, sehingga penyelesaiannya antara asosiasi dan asosiasi.

Terakhir, apabila konflik belum juga menemukan titik terang, persoalan itu bisa dibawa ke Forum Komunikasi Perpasaran, yang dibentuk oleh Menteri Perdagangan. Selama ini, forum komunikasi yang terbentuk sesuai dengan implementasi Perpres Nomor 112 Tahun 2007 dan Permendag No 53/2008, sangat efektif menyelesaikan konflik.

“Persoalan Carrefour dan Matahari, juga selesai di forum itu. Memang banyak yang tidak tahu tata cara penyelesaikan konflik, makanya kami minta supaya tata caranya dipertegas dan juga sanksinya, supaya ada efek jera. Karena banyak yang tidak tahu, apalagi di daerah,” tutur Susanto.

Direktur Corporate Affairs PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk Solihin mengatakan sejak 2011, perusahaan tersebut telah meluncurkan program unik Outlet Binaan Alfamart (OBA).

Program ini menyasar para pemilik toko kelontong dengan tujuan menata layout warung untuk memberikan daya tarik bagi pelanggan maupun konsumennya. Meski program ini tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab sosial perusahaan, cara ini membuka kesempatan agar warung-warung kelontong jauh memiliki daya saing.

“Target kami pada 2012 dapat mengajak 100 pemilik warung kelontong. Sebagai perusahaan yang bergerak di jaringan minimarket, kami tentu memiliki kewajiban memberdayakan pedagang kecil diantaranya pada pemilik warung kelontong,” katanya.

Alfamart mengucurkan dana Rp 15 juta- 20 juta kepada pemilik warung yang dinilai prospektif dengan berbagai syarat yang ditetapkan, seperti usaha warung yang ditekuni merupakan milik pribadi dan minimal telah berjalan selama 1 tahun.

“Kami tidak mewajibkan mereka membeli barang dagangan di Alfamart. Tujuan kami semata memajukan usaha pemilik toko kelontong dengan menghadirkan tampilan yang lebih bersih dan nyaman sehingga dapat memajukan ekonomi pelaku usaha kecil menengah,” tegasnya.

Alfamart menempatkan seorang member relation officer (MRO) yang bertugas membina para pemilik warung kelontong tersebut. Petugas MRO ini yang menjadi ujung tombak dan bertugas mengantar produk dagangan yang sudah dipesan, sehingga pemilik warung tak perlu mengeluarkan ongkos atau membawa dagangannya sendiri. (Linda T. SILITONGA/STEFANUS Arief S.) (redaksi@bisnis.co.id)

Sumber: Edisi Minggu Bisnis Indonesia, 9 September 2012

No comments:

Post a Comment