Wednesday, June 16, 2021

Mencegah Moral Hazard di Bisnis Minimarket

Jika sebelumnya sekadar imbauan tanpa ‘taring’, kini penggunaan produk lokal diwajibkan paling sedikit 80% dari total produk yang dijual waralaba, termasuk waralaba minimarket.

Caranya pemberi waralaba (franchisor) harus bekerja sama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah setempat. Sebagai penerima waralaba (franchisee) atau pemasok barang dan jasa sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan franchisor.

Kemitraan itu tentu tidak dilakukan secara longgar,tetapi diikat dalam dalam syarat perdagangan atau trading terms yang jelas, wajar, berkeadilan, saling menguntungkan dan disepakati kedua belah pihak tanpa tekanan.

Meskipun demikian, potensi terjadi moral hazard dari salah satu pihak tetap ada. Untuk itu, dibawah fasilitasi Kementerian Perdagangan, dibentuklah forum komunikasi yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil dari pemangku kepentingan.

Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Gunaryo mengatakan forum komunikasi telah menyepakati adanya pelarangan untuk memberlakukan butir-butir trading terms di luar ketentuan Permendag No 53/2008 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.

Ketentuan itu menyangkut potongan harga regular, potongan harga tetap, potongan harga khusus, potongan harga promosi, biaya promosi, biaya distribusi dan biaya administrasi pendaftaran barang.

Kesepakatan lainnya, menghentikan pembelian produk pemasok tanpa melalui surat pemberitahuan disertai dengan alasan penghentian pembelian tiga bulan sebelumnya.

“Jadi, pengawasan ini dilakukan secara bersama-sama oleh forum komunikasi para pemangku kepentingan. Masyarakat pun bisa ikut mengawasi ” katanya.

Kendati demikian ada ruang bagi para pemangku kepentingan untuk dapat melakukan negosiasi sepanjang dijelaskan secara rinci, transparan dan mendapat persetuiuan dari kedua belah pihak.

Biaya Promosi
Poin yang terbuka untuk dinegosiasikan menyangkut pemberlakuan biaya promosi, penerapan lebih dari satu trading terms untuk satu pemasok dan penentuan target penjualan yang disesuaikan dengan market trend masing-masing produk pemasok berdasarkan survei oleh surveyor independen nasional untuk menghindari indikasi penambahan pendapatan melalui conditional rebate.

Namun, tidak lengkap jadinya jika tak ada perbaikan internal di sisi pemsok maupun pemilik minimarket. Untuk itu, forum pun menyepakati pelaksanaan training ‘work ethic’ kepada para negosiator dengan menempatkan kamera pengrawas (CCTV) di ruang negosiasi.

“Ini untuk meminimalisir terjadinya moral hazard dari salah satu pihak, seperti ancaman stop Order, KKN [korupsi, kolusi dan nepotisme] dalam penerimaan produk pemasok ” jelas Gunaryo.

Pengelola minimarket juga harus memberitahukan alasan pemesanan jumlah produk yang diperbesar untuk menghindari indikasi penambahan pendapatan melalui denda service level.

Perbaikan administrasi pun menjadi poin penting yang harus dilaksanakan kedua pihak. Pertama pelaksanaan term of payment sesuai dengan jadwal pembukaan toko baru apabila terjadi penundaan pembukaan toko baru.

Kedua, penagihan dalam program zero persen promo (pemberian bunga 0%) dihitung berdasarkan produk terjual yang yang termasuk dalam program zero persen promo .

Ketiga, melakukan konfirmasi  pemotongan unspent promotion budget kepada pihak lain, minimum dalam kurun waktu dua bulan apabila terjadi perubahan jadwal dari salah satu pihak. Keempat, pengembalian kelebihan nilai potongan akibat keterlambatan administrasi.

Gunaryo mengatakan pengawasan ini dilakukan hingga tingkat daerah. Pemda berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap program kemitraan. Mereka juga harus memfasilitasi kemudahan bagi UMKM dan membentuk forum komunikasi pemangku kepentingan di daerah masing-masing. (Sri MAS SARI)

Sumber: Edisi Minggu Bisnis Indonesia, 9 September 2012

No comments:

Post a Comment