Bagi penikmat bus antar kota di Jawa, siapa yang tak kenal dengan PO Haryanto. Perusahaan bus ini memang sangat terkenal. Bahkan, bus ini hadir dengan membawa nilai-nilai Islami. Tak heran, jika owner PO Haryanto, H. Haryanto selalu menganjurkan para pegawainya yang beragama Islam untuk selalu shalat lima waktu berjamaah.
Konon, selalu ada spanduk pengingat di kantornya yang berisi: bila hidupmu susah, tengoklah sudah benarkah shalat jamaahmu. "Kalau nggak mau shalat, saya omelin (marahi-red) karena saya tidak mau mereka berbuat dosa," ujar H. Haryanto seperti dilansir Tribun Jateng.
Siapa sebenarnya H. Haryanto ini? Berikut tulisan inspiratif yang dirangkum dari berbagai sumber tentang sosok dermawan dari Kudus ini. Nama lengkapnya Kopral Kepala (Purn) Haryanto. Pada tahun 2002, ia me,ndirikan bisnisnya dan memilih pensiun sebagai TNI Angkatan Darat di Batalyon Artileri Pertahanan Udara t/Kostrad, Tangerang, Banten.
Haryanto bukan keturunan keluarga kaya, malah bisa dibilang berasal dari keluarga kurang mampu. Ayahnya bekerja buruh kasar, sedangkan ibunya berjualan daging di pasar. Ia anak keenam dari sembilan bersaudara. Bisa dibayangkan, bagaimana keluarga ini memenuhi kebutuhannya. "Kehidupan saya dulu sangat sulit," kisahnya.
Pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Teknik, kalau sekarang setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ketika masuk Sekolah Teknik Menengah (STM), ia tak lulus karena tidak ada biaya. Sewaktu kecil, ia membantu keluarga dengan berjualan es, menjual rumput, menjadi pembersih hotel, dan kuli bangunan.
Meski es dagangannya tidak selalu habis terjual, Haryanto mengaku tidak pernah mengeluh. Dia pun berjualan atas inisiatif sendiri demi meringankan beban orangtua. "Kadang tidak ada yang beli. Kadang di sawah dapat berapa, ditukar sama padi, kita bawa pulang untuk makan," ujarnya.
Saat remaja, Haryanto sempat bekerja menjadi buruh rokok di Kudus. Sempat menjadi kuli bangunan, sebelum kemudian mendaftar ABRI. "Saya pernah bekerja di pabrik rokok. Terus cari kerja lagi, ngelamar sana-sini tak ada yang menerima. Akhirnya, sempat menjadi kuli bangunan. Gaji Rp 400, saya belikan nasi Rp 200, sisanya saya simpan," ucapnya.
Saat dalam himpitan ekonomi itu, Hariyanto bercita-cita menjadi tentara. Ia memutar otak untuk mengubah nasib. Tak sengaja, ia melihat ada dua orang tentara sedang shalat berjamaah. Tebersit hasrat untuk menjadi tentara. Bermodalkan ijazah Sekolah Teknik (ST), dia bertekad mendaftar pendidikan tentara.
"Saya melihat dua orang tentara sedang shalat berjamaah, dari situ saya dapat inspirasi. Saya harus berubah, lalu saya pun membanting setir lagi. Saya masuk tentara dengan ijazah ST karena STM saya tidak lulus. Saya setahun tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya," kata Haryanto.
Pria kelahiran tahun 1959 ini pun mendaftar pendidikan militer. Singkat cerita, dia diterima menjadi anggota TNI sejak 1979, pertama bertugas di Arhanud i/ Kostrad di Tangerang. "Tes kedua masuk ABRI, alhamdulillah di situ saya lulus. Setelah selesai pendidikan, saya bertugas di Tangerang. Di Tangerang itu saya berpikir jauh dengan orangtua," ujarnya.
Di awal menikah dan punya satu anak, Haryanto sempat tinggal di rumah kontrakan bekas kandang ayam. Hidup masih susah, ia benar-benar tidak punya apa-apa. "Satu-satunya harta saya waktu itu jam dinding," kata Haryanto saat diwawancara Andy F Noya di kanal YouTube MetroTV.
Setelah selama 20 tahun menjadi tentara, Haryanto banting setir mencoba menjadi pengusaha. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan memang terus bertambah. Gaji sebagai tentara sudah tidak cukup untuk menghidupi istri dan tiga anak. Karena itu, ia mencari usaha untuk memperbaiki kondisi keluarganya.
Merintis Usaha Transportasi Bus
Pada mulanya ia hanya berniat mau mencari penghasilan tambahan. Selain bertugas sebagai tentara, Haryanto merangkap jadi sopir angkutan kota (angkot) saat malam hari. Kondisi itu ia jalani selama beberapa waktu. Berawal dari sopir itu, pada tahun 2002 ia mendapat ide mulai merintis usaha di bidang transportasi.
Awalnya dia memiliki lima bus yang kondisinya memprihatinkan. Sebagai tahap awal, dia membuka trayek Cikarang — Tangerang, namun gagal. "Tahun 2002 angkot saya jual. Saya harus alih profesi. Saya beli bus jelek-jelek dapat lima unit. Saya buka trayek Cikarang — Tangerang, tapi gagal," ungkapnya.
Lantas Haryanto membuka trayek Kudus — Jakarta. Dari situ, usahanya mulai berkembang. Haryanto pun pensiun dari tentara dan memilih fokus mengembangkan usahanya. "Saya akhirnya mendapatkan petunjuk dari Allah, buka trayek Kudus — Jakarta. Itu busnya jelek, tapi saya ingat setiap hari penumpang penuh," kenangnya.
Pada tahun 2007, usaha Haryanto sempat terdampak kenaikan BBM dan mulai banyaknya kendaraan roda dua dan mobil pribadi. Dia pun mengaku sempat punya hutang hingga Rp 17 miliar. "Tahun 2007 saya kolaps karena ada kenaikan BBM dan krisis moneter. Jadi, dalam suasana tidak bagus, saya punya hutang," ungkapnya.
Di situ saya yakin janji Allah, barang siapa yang taat dan terus berusaha, sesulit apapun masalah akan ada jalan keluarnya. "Saya dikasih waktu selama 5 tahun untuk melunasi hutang. Saya memohon kepada Allah. Atas izin Allah, dalam 3 tahun sudah selesai," pungkas Haryanto yang kini memiliki sekitar 300 unit bus.
Haryanto menjelaskan, tujuan menjadi pengusaha bus yang dirintis sejak tahun 2002 itu adalah untuk perjuangan agama. Karena itu, armada bus diberi gambar Menara Kudus dan kalimat salawat di bagian depan semata-mata niatnya memberikan kebaikan. "Saya ingin punya bus untuk perjuangan agama, semua nggak diduga berjalan begitu saja," ujarnya.
Selain binaan 5.000 anak yatim, kini Haryanto banyak membangun masjid dan mengajak masyarakat untuk memakmurkan masjid. Haryanto selalu mengajak pegawainya untuk tidak meninggalkan shalat jamaah dengan memberi hadiah. "Yang rajin ibadahnya, saya beri hadiah umrah. Sudah banyak pegawai dan sopir yang saya berangkat-kan," jelasnya.
Tak hanya hadiah, Haryanto juga memberi sanksi sopir yang tak mau menunaikan ibadah shalat. Sopir itu lebih mudah melaksanakan shalat karena bisa menjamak. Jadi, tidak ada alasan sopir meninggalkan shalat lima waktu. "Sopir itu termasuk musafir yang menempuh perjalanan jauh. Jadi, shalatnya bisa dijamak. Shalat penuhnya kalau di rumah," ujarnya.
Haryanto juga memiliki kebiasaan menyediakan beras di kantor untuk dibagikan kepada kaum dhuafa dan pegawainya yang rajin ibadah. Tujuannya, biar para pegawai termotivasi untuk selalu beribadah shalat lima waktu. "Beras di kantor ini suka saya bagikan untuk kaum dhuafa dan pegawai yang rajin ibadah," ujarnya.
Haryanto mengakui tak pernah menciptakan hubungan dengan pegawai seperti majikan. Dia membangun suasana seperti persaudaraan. Sehingga usahanya dapat terus maju dan berkembang dengan sistem kekeluargaan. "Saya tidak pernah menganggap menjadi majikan dengan pegawai sendiri. Semua sudah seperti saudara," tandasnya. FATHURROJI NK
Sumber: Majalah Gontor, Edisi 10 Tahun XXI - Rajab – Sya’ban 1445 H/ Februari 2024
No comments:
Post a Comment