Tuesday, September 15, 2020

Setya Yudha Indraswara, Gaul dalam Secangkir Kopi

KOMPAS/BUDI SUWARNA---Setya Yudha dan istri, Ike Hamdan, di ”markas” Jaringan Warkop Nusantara di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (3/9/2020).

Yang penting itu bukan kopinya, tapi ngopinya. Kopi sekadar biji, tapi ngopi punya dimensi sosial.

Masa depan ada di warung kopi. Setya Yudha Indraswara meyakini hal itu. Buat dia, warung kopi bukan sekadar tempat menyeruput kopi, melainkan juga ruang sosial di mana orang dengan aneka latar belakang leluasa berinteraksi dan bebas diskusi. Bayangkan jika ruang sosial itu terus tumbuh dan mekar. Sekat-sekat yang memisahkan akan runtuh dengan sendirinya.

Setiap hari, orang datang dan pergi ke toko kopi Joyo99 sekaligus ”markas” Jaringan Warkop Nusantara (JWN) di Perumahan Nuri Bintaro, Ciputat, Tangerang Selatan. Kamis (3/9/2020), ada satu anak muda yang pergi dan delapan orang yang datang. Setya (42), sang pendiri JWN, yang biasa disapa Ulil, menyambut mereka dengan ramah.

”Mereka anak-anak muda yang tertarik belajar kopi. Beberapa sepertinya baru pertama kali datang ke sini,” katanya di markas JWN. Tempat itu berupa bangunan yang terbagi dalam dua bagian. Bagian dalam jadi toko kopi, bagian teras yang luas untuk aneka kegiatan, terutama pelatihan dan diskusi.

Ulil tidak ingat berapa banyak orang yang datang untuk belajar tentang kopi sejak JWN didirikan 2016, tapi setidaknya sehari bisa datang 15 orang. Awalnya yang datang adalah para pensiunan yang ingin menekuni bisnis kopi. Belakangan, kebanyakan yang datang anak-anak muda. Sebagian dari mereka lulusan SMA yang tidak bisa meneruskan kuliah, tapi tak punya keterampilan untuk terjun ke dunia kerja.

KOMPAS/BUDI SUWARNA---Dua anak muda sedang belajar menyeduh kopi di warkop Joyo99, Kamis (3/9/2020), di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Setiap hari belasan orang datang ke tempat itu untuk belajar mengolah kopi.

Mereka lantas memilih ”jalan kopi” yang menjanjikan sejumput masa depan. Setelah belajar di JWN, sebagian menyebar ke sejumlah kedai kopi yang tumbuh subur di mana-mana. Ada pula yang merintis warung kopi sendiri.

Ulil melayani siapa pun yang datang. Dengan telaten, ia berbagi pengetahuan tentang kopi, mulai dari bagaimana kopi ditanam di kebun, proses panen, cara menyangrai, hingga cita rasa kopi. Ia juga bercerita tentang nasib petani kopi yang hidupnya tak senikmat cita rasa kopi yang mereka tanam.

”Harapan saya, mereka tidak sekadar tahu bagaimana menyeduh kopi, tapi juga mengapresiasi setiap proses kopi hingga menjadi sajian,” kata Ulil yang tidak meminta bayaran untuk setiap pengetahuan yang ia bagikan.

Mereka yang datang bahkan boleh mencicipi aneka kopi murni koleksi toko Joyo99 tanpa perlu membayar. ”Silakan ngopi sepuasnya. Kalau ingin membawa pulang, baru mereka beli,” ucap Ulil diikuti senyum.

Kopi yang tersedia di sana seluruhnya adalah kopi Nusantara, mulai dari Sumatera sampai Papua. Dengan cara itu, ia mengampanyekan aneka kopi lokal. ”Kopi Indonesia itu the best of the best. Diakui di dunia. Ini yang selalu saya tekankan,” tegasnya.

KOMPAS/BUDI SUWARNA--Koleksi kopi Nusantara di warkop Joyo99 milik Setya Yudha di Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (3/9/2020).

Tidak hanya mempromosikan kopi Nusantara, ia juga menularkan kepada anak-anak muda urban cara menyajikan kopi secara tradisional. Salah satunya dengan cara tubruk. Ia gelisah banyak anak muda yang berlomba-lomba mempelajari cara penyajian kopi modern dengan mesin agar bisa disebut barista.

Mereka juga mengejar aneka sertifikat dan berburu aneka lomba menyajikan kopi secara modern agar bisa disebut barista pendekar. Sayangnya, banyak di antara mereka yang enggan mengeksplorasi kopi Nusantara dengan cara tradisional dan tradisi di baliknya seperti yang diturunkan dari generasi ke generasi.

”Saya ingin mengubah cara pandang itu. Tanpa perlu menjadi barista pendekar atau punya sertifikasi, anak-anak muda boleh kok mengeksplorasi kopi Nusantara. Makanya, saya menghindari istilah barista. Buat saya, sebutan penyeduh kopi sudah cukup,” tambahnya.

Ulil menegaskan, dirinya bukan orang yang antimodernisasi atau anti-asing. Ia hanya ingin mengajak pencinta kopi mengenal lagi budaya kopi Indonesia yang kaya dan sudah lama ada. ”Pada akhirnya, ini pintu masuk untuk menghargai keberagaman, termasuk keberagaman cara menyajikan dan selera kopi,” katanya.

Cara pandangnya itu ia ekspresikan dalam jargon-jargon yang disablon di kaus dan aneka cendera mata, seperti ”Bagimu Kopimu, Bagiku Kopiku” dan ”Tubruk is The Ngopi of My Country.”

KOMPAS/BUDI SUWARNA---Lewat kaus, Setya Yudha mempromosikan tradisi kopi tubruk khas Indonesia. Foto diambil pada Kamis (3/9/2020) di ”markas” Jaringan Warkop Nusantara di Ciputat, Tangerang Selatan.

Bagi Ulil, yang penting bukan kopinya, tapi ngopi-nya. Kopi sekadar biji, tapi ngopi merupakan tradisi yang punya dimensi sosial budaya. Ngopi memungkinkan orang berinteraksi, saling menyapa, dan bisa ngobrol tentang apa saja tanpa beban. Orang Jawa bilang serawung (gaul).

”Ini yang mulai hilang. Sekarang banyak orang datang ke kedai kopi, menyeruput kopi mahal, lalu tenggelam dengan gadget masing-masing atau ngobrol dengan kelompok sendiri,” ucapnya.

Tahun 2017, Ulil mencoba bereksperimen membuat warkop sederhana di Perumahan Nuri Bintaro, Ciputat. Letaknya hanya sepelemparan batu dari tempat tinggalnya. Dia mengajak warga perumahan untuk ngopi bareng, beriteraksi, ngobrol, dan main musik. ”Semalaman bisa 50 orang yang ngopi bareng. Warga di sini, yang tadinya hidup masing-masing, jadi sering nongkrong,” ujarnya.

Konsep warkop di lingkungan permukiman, kemudian diadaptasi oleh orang di sejumlah daerah mulai di kawasan Tangerang Selatan, Jakarta, Pati, Tegal, hingga Makassar. Ulil mempersilakan siapa saja mengadaptasi konsep warung kopi yang ia buat. ”Enggak perlu bayar, enggak perlu beli kopi dari saya. Kalau mereka mau, saya bisa kasih masukan bagaimana hitung-hitungan (bisnis) warung kopi. Yang penting harga secangkir kopi murni Rp 5.000 saja,” tuturnya.

Ia berharap, warkop-warkop di permukiman terus tumbuh dan menyebar sebagai ruang interaksi dan relasi antarwarga dengan aneka latar belakang dan cara berpikir berbeda. ”Semua bisa ngobrol santai sambil ngopi, bukan gontok-gontokan.”

Awak sehat
Ulil dibesarkan di tengah tradisi ngopi yang kuat. Sejak kecil ia biasa ngopi bareng kakek dan anggota keluarga lainnya. Kebiasaan minum kopi terus berlanjut ketika ia bekerja di beberapa perusahaan besar di Jakarta. Ia biasa nongkrong bersama teman-temannya di sejumlah kedai modern.

KOMPAS/BUDI SUWARNA---Setya Yudha alias Ulil sedang mempelajari profil kopi di warkop Joyo99 di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (3/9/2020).

Tahun 2016, Ulil terkena pemutusan hubungan kerja. Bermodal uang pesangon yang cukup besar, ia mencoba merintis bisnis mainan hingga burung. Namun, tak ada satu pun yang berhasil. Uang tabungannya pun terkuras dan akhirnya ia bangkrut. ”Saya terpaksa nebeng hidup pada istri yang saat itu bekerja,” kenangnya.

Suatu ketika Ulil ingin sekali mencecap secangkir kopi murni. Tetapi dalam keadaan bangkrut, ia berpikir berkali-kali untuk membeli secangkir kopi di kedai cozy yang harganya bisa Rp 25.000. Maka ia pergi ke warung sederhana. Alih-alih mendapat kopi murni, ia disodorkan kopi saset yang sarat gula. Ulil yang fanatik pada kopi murni tentu saja tidak terpuaskan.

Ulil lantas menghubungi beberapa temannya yang berprofesi sebagai barista atau grader. Dari mereka, ia mendapatkan kopi gratis. ”Kopi itu aku titipkan ke warung kecil dekat rumah tempat aku biasa nongkrong. Aku minta pemilik warung menjual kopi murni itu dengan harga miring supaya semakin banyak orang bisa ngopi,” ceritanya.

Dalam dua hari, kopi yang dititip habis. Ulil memasok lagi tanpa mengambil untung. Seiring dengan waktu ternyata banyak yang pesan kopi. Akhirnya, ia terjun sebagai pedagang kopi pada 2016. Saat itu, gairah menyeruput kopi di Indonesia sedang tumbuh, kedai-kedai kopi muncul di mana-mana, dan anak-anak muda antusias belajar tentang kopi. Jual beli kopi otomatis tumbuh. Tapi, ia melihat kopi yang diperjualbelikan kopi impor melulu. Saat itulah, Ulil mendirikan JWN untuk mendukung promosi kopi Nusantara dan warkop pada 2016. Sebuah komunitas tanpa struktur dan sangat cair.

Pada tahun yang sama, ia menyaksikan masyarakat makin terbelah oleh perbedaan pandangan politik. Berbeda sedikit saja langsung rebut. ”Mungkin mereka kurang ngopi bareng. Aku ingin masyarakat kita sering ngopi bareng di warkop supaya saling menyapa dan ngobrol,” katanya.

Ulil mengatakan, JWN yang didirikannya tidak memberinya kekayaan. Namun, dari situ ia mendapat banyak teman yang mengalirkan rezeki. Ia juga bahagia melihat orang dengan aneka perbedaan bisa ngobrol dan ngopi bareng di warkop. ”Buat saya, bahagia itu sederhana saja. Yang penting bisa nongkrong enak, ngopi enak, tidur nyenyak, awak sehat.”

Setya Yudha Indraswara

Lahir: Blitar, 25 Desember 1977

Istri: Ike Hamdan

Anak: Langit Biru dan Banyu Bening

Pendidikan:
SD YPPK Merapi Malang (1986-1990)
SMPN 1 Malang (1990-1993)
SMAN 1 Malang (1993-1996)
S-1 Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu Administrasi Niaga (1996-2002)

Penghargaan:
Champion-Inspiring People MLD Content Hunt 2017
Nomine Talenta Indonesia 2018 dari Majalah Intisari

IG: @warkopjoyo99

Oleh  BUDI SUWARNA

Editor:  MARIA SUSY BERINDRA

Sumber: Kompas, 16 September 2020

1 comment:

  1. AJOQQ agen jud! poker online terpecaya dan teraman di indonesia :)
    gampang menangnya dan banyak bonusnya :)
    ayo segera bergabung bersama kami hanya di AJOQQ :)
    WA;+855969190856

    ReplyDelete