Saturday, December 7, 2019

Yohan Wijaya Membuat Limbah Sabut Kelapa Melanglang Buana

 

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA---Yohan Wijaya Noerahmat

Kejelian Yohan W Noerahmat (37) mencari celah penjualan kelapa dan produk turunannya berbuah manis. Sabut kelapa yang awalnya hanya limbah kini membuat bangga Indonesia saat sukses melanglang buana ke sejumlah negara.

Kejelian Yohan Wijaya Noerahmat (37) mencari celah penjualan kelapa dan produk turunannya berbuah manis. Sabut kelapa yang awalnya hanya limbah bisa ia sulap jadi produk yang sukses melanglang buana ke sejumlah negara.

Di bawah bendera Koperasi Produsen Mitra Kelapa (KPMK) di Pangandaran, Jawa Barat, setidaknya ada dua produk andalan Yohan dan kawan-kawannya sejak 2016. Pasar mengenal produk itu dengan sebutan cocopeat dan cocofiber.

Cocopeat digunakan sebagai media tanam dari sabut kelapa yang berbentuk halus seperti pasir. Sabut dengan serat yang lebih kasar menjadi cocofiber yang menjadi bahan baku furnitur hingga jok kendaraan kelas premium.

Kamis (12/11/2020), Yohan memperlihatkan salah satu gudangnya di Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Pangandaran. Tidak banyak produk yang tersimpan di sana karena sebagian besar isi gudang sudah dikirim ke sejumlah negara.

Yohan mengatakan, gudang berukuran 40 meter x 20 meter itu memang jarang penuh. Keluar masuk bahan sabut kelapa dan produk turunannya di gudang itu sangat cepat seiring tingginya permintaan konsumen. Tidak main-main, ekspor limbah kelapa ini mencapai 200-an ton per bulan dengan nilai sekitar Rp 1,5 miliar.

Lebih dari 50 persen cocopeat diekspor ke China, sisanya dikirim ke Jepang dan Korea Selatan. Khusus cocofiber, hampir semuanya diekspor ke China. Semua bahannya, kata Yohan, diambil dari kelapa milik petani Pangandaran.

”Di awal pandemi, gudang ini sempat penuh. Pengiriman barang ke China tidak diterima dalam kurun Maret-Juni. Namun, saat ekspor dibuka bulan Juli, gudangnya kosong lagi. Meski pandemi kami masih bisa terus produktif,” katanya.

Pulang kampung

Kehidupan Yohan dengan kelapa sudah terjalin erat sejak lama. Ayahnya, Mamat Rahmat (64), adalah petani kelapa. Kelapa menjadi penopang hidup keluarga dan menjadi sumber uang kuliah Yohan di Teknik Kimia Institut Teknologi Nasional Bandung.

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA---Yohan Wijaya Noerahmat di Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Pangandaran, Kamis (12/11/2020). Ia mampu mengolah sabut kelapa jadi komoditas ekspor bernilai tinggi.

Akan tetapi, selepas kuliah, dia tidak lantas pulang memajukan usaha kelapa. Seperti banyak anak muda lainnya, dia memilih menantang metropolitan. Dia  merantau ke Cibitung, Bekasi, dan bekerja di salah satu pabrik pengolahan makanan.

Baru pada 2011 ia mulai melirik kelapa. Selain melanjutkan usaha bapaknya sebagai petani kelapa, dia melihat potensi besar dari produksi kelapa Pangandaran. Bersama 10 rekan di Karang Taruna Desa Cintakarya, dia memulai bisnis kelapa.

”Saat itu, saya jual kira-kira 20.000 butir kelapa per bulan, margin keuntungan 10-15 persen. Saya lihat ada potensi di bisnis kelapa ini di Pangandaran. Di mana-mana ada pohon kelapa. Jadi tinggal mencari pasarnya,” tutur Yohan.

Dia tidak keliru. Badan Pusat Statistik Jawa Barat tahun 2016 mencatat, produksi kelapa di Pangandaran mencapai 12.623 ton atau ketiga terbesar di Jabar meski luasnya hanya lahan hanya 25.354 hektar. Luas ini mencapai 15,1 persen dari total luas Pangandaran yang mencapai 168.000 hektar.

Dengan alasan tersebut, dia akhirnya memilih pulang kampung dan sepenuhnya menjadi penjual kelapa. Yohan membawa istri dan satu anaknya yang masih balita meninggalkan pabrik tempatnya bekerja.  ”Buah kelapa dijual untuk pasar lokal hingga Bandung dan Jabodetabek. Dibawa dengan mobil sewaan, keuntungannya Rp 2 juta-Rp 3 juta sebulan,” katanya.

Empat tahun berjalan, Yohan mulai terusik dengan limbah sabut kelapa. Dia  berpikir, seharusnya limbah tidak dibuang tapi bisa menghasilkan tambahan rupiah. Kelimpahan buah kelapa di Pangandaran membuat inovasi produk turunan kelapa lainnya tak terlalu terlihat.

Setelah mencari tahu dari berbagai literatur, pilihan jatuh pada cocopeat. Saat itu, cocopeat tengah jadi tren di sejumlah negara. Setelah belajar dari produsen cocopeat di Lampung, Yohan tertarik membuatnya sendiri bersama rekan-rekannya.

Tahun 2016, usaha mereka berhasil. Mereka bertemu pembeli dari China. Untuk menjamin keberlanjutan pembuatan cocopeat dan cocofiber, dia dan kawan-kawannya lantas mendirikan KPMK di tahun 2016.

Di awal jadi eksportir pemula, KPMK hanya mampu memproduksi 23 ton cocopeat dalam setahun. Semuanya lantas diekspor ke China. Setelah mengumpulkan modal, KPMK pun berhasil meningkatkan kapasitas produksi hingga 125 ton sebulan dan kini mencapai 200-an ton per bulan.

Akan tetapi, tidak mudah mencari pasokan hingga 1,2 juta butir kelapa per bulan untuk menopang produksi  cocopeat dan cocofiber. Yohan tidak lagi  hanya mengandalkan sumber dari anggota koperasi  yang hanya mampu memasok 100.000 butir kelapa dari 400-an petani. Jumlah itu kurang dari sepersepuluh kebutuhan produksi.

Yohan pun berusaha melibatkan petani kelapa lainnya untuk memasok sabut kelapa. Ia berani membeli sabut kelapa seharga Rp 10.000 per kubik. Satu kubik sabut biasanya berasal dari 120 butir kelapa. Dari situ, masyarakat melihat limbah sabut kelapa ternyata berharga.

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA---Sejumlah nelayan membawa hasil jaring pukat tarik di Pantai Pangandaran, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Selasa (10/11/2020).

Kini, ada 10 kelompok usaha. Mereka terdiri dari 100 warga desa. Jumlah ini terdiri dari 71 karyawan koperasi dan lebih dari 50 warga yang ikut di dalam kelompok usaha. Kelompok-kelompok usaha itu dijamin pasarnya. Mereka akhirnya mau mengolah sabut kelapa setelah selama ini hanya menjual buah kelapa.

”Kami sekarang sedang coba mengajak 2.500 petani kelapa sampai pengepul untuk menjadi anggota. Target 2021 semua sudah terkumpul,” ujarnya.

Yohan membulatkan tekad mengumpulkan para petani kelapa karena sadar potensi pasar yang besar. Dia menuturkan, koperasi dengan omzet Rp 8 miliar per bulan ini sebenarnya hanya mampu memenuhi 5 persen dari total kebutuhan pelanggan.

Tidak hanya itu, Yohan juga ingin rekan-rekan sesama anggota koperasi mampu memproduksi cocopeat sendiri. Jika hal tersebut bisa dilakukan, mereka bisa meningkatkan kesejahteraan masing-masing hingga para petani kelapa di sekitarnya.

”Saya menargetkan seluruh anggota koperasi yang berjumlah 42 orang itu mampu memproduksi cocopeat. Jika mereka mau berwirausaha, derajat desa akan terangkat karena di sini kami memiliki komoditas unggulan,” tuturnya.

Yohan optimistis, Pangandaran mampu menyuplai 30 persen dari kebutuhan para eksportir jika target jumlah anggota tercapai. Peningkatan mutu produk yang ikut terangkat juga bisa menarik perhatian pasar yang lebih besar ke sejumlah negara di Eropa. Banyak negara di Eropa adalah produsen mobil ternama yang berpotensi menggunakan cocofiber untuk jok premium-nya.

”Eropa punya spesifikasi kualitas yang lebih tinggi. Karena itu, mereka butuh barang dengan kualitas dan jumlah yang stabil. Ini yang sedang saya upayakan dan yakinkan ke masyarakat, kami bisa memenuhinya,” tuturnya.

Dari potensi tersebut, Yohan berharap Pangandaran menjadi daerah yang lebih maju dibandingkan sebelumnya. Adanya komoditas unggulan baru membuat Pangandaran lebih stabil secara ekonomi. Daerah ujung timur Jabar ini tidak hanya mengandalkan sektor perikanan bahkan pariwisata yang kini menjadi perhatian.

Jika optimisme Yohan menular ke banyak warga, bukan tidak mungkin Pangandaran bakal jadi salah satu sentra produk olahan sabut kelapa kelas dunia.

Yohan Wijaya Noerahmat

Lahir: Ciamis, 4 November 1982

Pendidikan terakhir: S-1 Teknik Kimia Institut Teknologi Nasional Bandung (lulus 2005)

Oleh   MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Editor:   CORNELIUS HELMY HERLAMBANG

Sumber: Kompas, 26 November 2020

No comments:

Post a Comment