Olahan Kelor Kaya Khasiat

KOMPAS/SAMUEL OKTORA--Sri Sudarti – Pengusaha kuliner kelor di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Sejak lima tahun lalu, Sri Sudarti (44) mulai akrab dengan kelor. “Tanaman ajaib” itu dia olah menjadi tepung, lalu jadi mi atau kue, juga sebagai bahan campuran garang asam, pepes ikan, dan soto. Kreasi itu mengangkat pamor kelor sekaligus mengatasi problem gizi.

Jelang tanggal 25 Desember 2018 lalu, Sri yang biasa dipanggil Atik, nyaris tak punya waktu banyak untuk istirahat. Ada banyak pesanan sejumlah makanan berbahan kelor (Moringa oleifera) yang harus ia penuhi. Mulai dari garang asem, ikan kuah asam, pepes ikan, mi ayam, soto, hingga martabak. Semuanya pesanan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat. Ada acara besar yang bakal digelar di rumah jabatan‎ gubernur tepat di hari Natal.


“Menu harus sudah siap pukul 06.00. Ada menu teranyar yang saya kembangkan tahun 2018, es krim kelor, untuk menu penutup,” kata Atik saat ditemui di kediamannya di Sikumana, Kota Kupang, NTT, Kamis, (20/1/2018).

Kelor mudah tumbuh di seantero NTT. Meski dikenal sebagai tanaman berkhasiat yang tumbuh di pekarangan, kelor belum mendapat tempat istimewa. Sekadar di sayur, kelor tidak menjadi favorit banyak warga. Anggapan itu tentu sangat disayangkan. Alasannya, dunia sudah menobatkan kelor sebagai salah satu “tanaman ajaib”.

Kajian ilmiah Organisasi Kesehatan Dunia menyebutkan, kelor punya kandungan nutrisi tinggi. Anak-anak balita hingga ibu hamil cocok mengonsumsinya. Masalah gizi buruk hingga ibu kekurangan energi kronik di NTT seharusnya tidak terjadi bila kelor jadi salah satu garda terdepannya.
“Bahkan, kalau dikembangkan, kelor tak hanya bisa menjadi penguat gizi, tapi memberi kesejahteraan ekonomi. Tidak hanya kuliner, tapi kosmetik atau obat herbal,” kata Atik.

Kolaborasi
Atik mulai mengembangkan kuliner kelor lima tahun lalu. Dia menyajikan di kantin di kantor Dinas Perhubungan NTT. Namun, hingga saat itu, Atik belum tahu banyak tentang manfaat kelor yang penuh khasiat. “Saya hanya berpikir kelor mudah didapat. Warga di sini juga terbiasa memakannya sehingga relatif mudah dijual,” ujarnya.

Hati dan pikirannya semakin terbuka setelah menyaksikan debat publik Pemilihan Gubernur NTT pada 5 April 2018. Oleh kandidat gubernur kala itu, Viktor Laiskodat, kelor dijadikan sebagai jawaban solusi pemasalahan gizi buruk di NTT. “Ternyata khasiatnya sangat besar. Dari sana, saya lantas mendapat ide untuk memperkenalkan kelor. Inovasi jadi kunci,” ujar dia.

KOMPAS/SAMUEL OKTORA--Sri Sudarti – Pengusaha kuliner kelor di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Atik lantas bereksperimen. Kebetulan, dia pernah mendapat keterampilan memasak dan tata boga lewat pelatihan yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama enam bulan.

Salah satunya saat membuat tepung kelor. Caranya dengan mengeringkan daun dengan sistem pengasapan. Semua dilakukan dengan alat-alatnya buatan sendiri.

Dia berhasil. Tepung itu laku dijual Rp 20.000 per ons dan cocok digunakan sebagai bahan campuran kue, bubur, juga teh. Atik biasanya mendapat pesanan tepung kelor jika ada acara besar. Sekali pesanan antara 3-8 bungkus per 100 gram.

Tak asal bicara, ia membuktikannya. Sejumlah kue sudah dia buat. Salah satunya, kue zeneti, yang kaya rempah-rempah. Kue ini sengaja dibuat seperti daun kelor. Roti gulung juga penuh tantangan. Dia sampai enam kali meracik bahan yang tepat untuk mendapat rasa yang tepat. “Saya biasa membuat zeneti untuk acara tertentu seperti Natal dan tahun baru. Harganya Rp 150.000 per kilogram,” ujar Atik.

Beragam sayur yang lazim dikenal masyarakat ternyata juga cocok saat dikombinasikan dengan kelor. Soto kelor, misalnya, Atik mengganti kol dengan kelor. Kelor juga bisa dipadukan dengan menu ikan kuah asam. Daun kemangi yang biasa digunakan dalam sajian itu diganti dengan kelor. Pepes ikan yang biasanya tanpa sayuran bisa dicampung dengan kelor. “Kelor tidak merusak rasa tapi memberikan pengalaman bagi lidah,” kata dia.

Solusi gizi
Lewat serangkaian uji coba, ia akhirnya percaya diri membuka Restoran Kelor dan Jamur Taman Dedari di Jalan Lingkar Luar, Kelurahan Sikumana, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang,. Dia bermitra dengan pemilik Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Dedari, Kupang yang juga dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi Dewa Putu Sahadewa.

Saat peresmian usaha kuliner ini, Wakil Gubernur NTT Josef Adreanus Nae Soi menyambut positif sajian menu yang dipilih Atik. Nae Soi mengatakan, masyarakat bakal mendapat banyak informasi berharga tentang manfaat kelor. Sejalan dengan revolusi hijau yang dicanangkan Pemprov NTT, dia yakin, kelor bisa jadi salah satu solusi menangani masalah gizi buruk.

KOMPAS/SAMUEL OKTORA--Sri Sudarti – Pengusaha kuliner kelor di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

“Saya sendiri merasakan manfaatnya langsung. Setelah rajin mengkonsumsi sayur dan teh kelor setiap hari, stamina semakin bagus. Tidak lekas lelah meski bekerja siang dan malam. Kadar kolesterol relatif stabil,” kata Nae Soi.
Dukungan banyak. Potensi besar. Namun, tantangan tidak berhenti sampai di sana. Setelah sukses dalam produksi, Atik menghadapi tantangan, yakni memperkenalkannya secara lebih luas ke masyarakat.

Ada kisah unik saat Atik berupaya mempromosikan kelor. Banyak pengunjung yang datang ke restorannya masih memesan menu jamur. Kelor dianggap sayur yang biasa dimasak di rumah. Buat apa ke restoran bila ujungnya makan kelor juga.

Oleh karena itu, Atik menyatakan bakal lebih gencar mempromosikan menu makanan berbahan kelor. Salah satunya melalui lomba aneka masakan kelor yang tahun ini memasuki tahun kedua. “Lebih dari enak dimakan, kreativitas mengolah kelor bisa jadi masa depan perbaikan gizi anak-anak NTT,” katanya.--
SAMUEL OKTORA

Sumber: Kompas, 19 Januari 2019