Sunday, January 20, 2019

Era Baru Warteg di Tangan Sayudi

KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO--Yudikha

Warung Tegal alias warteg menjadi andalan kaum urban untuk mengisi perut di kala lapar. Di Jakarta, Sayudi (45) menyulap warteg menjadi tempat yang bersih, menarik perhatian dengan beragam pilihan menu. Dengan jargon Siap Mewartegkan Jabodetabek, dia sudah mewaralabakan Warteg Kharisma Bahari sebanyak 210 cabang.

Suasana Warteg Kharisma Bahari (WKB) yang bercat hijau, kuning dan berlantai keramik putih, ramai pembeli yang sedang asyik menyantap makan siang, Senin (14/1/2017). Bagi pembeli, untuk menemukan warteg di Jalan Batong Raya, Cilandak, Jakarta Selatan ini tentu sangat mudah. Pembeli bisa memilih tempat duduk di depan rak makanan atau di ruangan yang berjejer meja kursi. Saat itu, paling tidak ada sekitar 35 pilihan menu, seperti ikan, telur, ayam, sampai balado jengkol.


Empat pelayan dengan sigap akan mengambil nasi di piring, lalu menawarkan sayur dan lauk apa yang ingin dinikmati pembeli. Sekilas suasana WKB tak ada yang berbeda dengan warteg-warteg lainnya. Namun, bila diperhatikan, kebersihan di WKB sekaligus cahaya terang sudah menyerupai restoran. Jika ada kuah sayur atau nasi yang tercecer saat melayani pembeli, pelayan langsung mengelap bersih. Meja dan kursi yang digunakan pembeli selalu terlihat bersih.

Kalau kita menengok ke dapur, semua peralatan masak tersusun rapi.
Dengan harga yang murah, berkisar antara Rp 8.000 sampai Rp 12.000, kita bisa makan kenyang dan puas. Tentu saja, kepuasan bukan hanya pada makanan, tetapi juga pelayanan dan kebersihan warung. Tak heran, banyak orang tertarik saat Sayudi membuka peluang waralaba WKB. Lama-kelamaan, Sayudi pun kerap dipanggil Yudikha atau Yudi Kharisma.

Sejak membuka waralaba WKB tahun 2014, Yudikha sudah menerima ratusan pendaftar. “Tiap hari paling tidak 10-20 orang menghubungi saya mau beli waralaba Warteg Kharisma Bahari,” kata Yudikha ketika ditemui di kantor yang berada bagian belakang warteg di Jalan Batong Raya, Senin (14/1/2019).

Yudikha menawarkan waralaba dengan harga Rp 110 juta atau Rp 130 juta bila dicicil, dengan cara jual putus. Uang digunakan untuk merenovasi tempat yang akan dipakai menjadi warteg, peralatan, mencari pengelola dan pegawai. Untuk mencari lokasi dan uang sewa tempat, Yudikha menyerahkan kepada investor warteg.

“Kalau pembeli waralaba menyerahkan warungnya kepada pengelola, saya akan mencarikan pengelolanya. Nanti penghasilan bersih warteg dibagi dua, fifty fifty, untuk pengelola mengelola dan investor warteg,” kata Yudikha.

Menurut dia, keuntungan bisnis warteg per bulan, tergantung besar kecilnya warung serta tergantung lokasi warteg. Dia menyebutkan kisaran angka Rp 5 juta sampai Rp 20 juta.

Bisnis waralaba WKB berjalan berdasarkan kepercayaan antara Yudikha dengan investornya. Untuk itulah, dia mencari pengelola warteg yang bisa dipercaya. Pengelola warteg menjadi penanggung jawab operasional sekaligus tukang masak untuk warteg yang buka 24 jam. Yudikha akan selalu mencari orang dari kampung asalnya, Tegal.

Setiap hari, dia dibanjiri surat lamaran dari pelamar pengelola warteg. Mengelola warteg tampak sepele tetapi tak mudah bagi Yudikha untuk menyeleksi. Ia cenderung memilih mereka yang punya pengalaman bekerja di warung.

Selama 15 tahun berkecimpung dalam bisnis warteg, ayah tiga anak ini sudah punya 210 WKB di Jabodetabek. Dari jumlah itu, 10 warteg dimilikinya sendiri. Dengan demikian, paling tidak Yudikha sudah memberi lapangan kerja kepada sekitar 1.000 orang dari Tegal, Jawa Tengah.

Para pembeli waralaba WKB, menurut Yudikha, 50 persen para pensiunan, 30 persen mereka yang akan memasuki usia pensiun dan 20 persen generasi milenial. “Mahasiswa atau karyawan muda biasanya membeli waralaba secara patungan dengan kawan-kawannya dan tak mengelola sendiri tapi berbagi hasil dengan pengelola,” kata Yudikha.

KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO--Pemilik Warteg Kharisma Sayudi (Yudikha) di Jakarta Selatan pada Senin (14/1/2019)

Warung kelontong
Meski bisa disebut juragan waralaba warteg tetapi kehidupan Yudikha nyaris tak berubah. Ia tetap menyebut dirinya orang desa yang tak sekolah tetapi denganbelajar dari membaca koran, majalah, serta banyak kenalan, pikirannya menjadi lebih terbuka.

“Saya enggak ngerti digital, makanya waktu dibuatkan website Kharisma Bahari, saya serahkan ke teman yang tahu soal itu,” kata Yudikha yang dibantu empat karyawan untuk waralaba WKB.

Di sela-sela kesibukan mengurusi waralaba, dia masih sempat belanja untuk kebutuhan warteg. Setiap dini hari, dia belanja kebutuhan warteg ke Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Selain itu, bergantian dengan anaknya, dia membuang sampah ke tempat pembuangan sampah sementara di dekat warungnya. Yudikha mulai melibatkan anak sulungnya yang sudah mahasiswa untuk mengikuti jejaknya di bidang usaha warteg.

Untuk aktivitas sehari-hari, Yudikha menggunakan sepeda motor. Di Jakarta ia mengontrak rumah sederhana tanpa banyak perabot mewah. Sedangkan, rumahnya di Depok tidak ditempati.

Yudikha menceritakan, setelah lulus dari SD Negeri 3 Sidakaton, dirinya malas melanjutkan sekolah. Anak ke enam dari tujuh bersaudara sering iri melihat anak lain yang tidak lagi sekolah bisa punya uang jajan lebih besar. Dari situ muncul pikiran untuk mencari uang.

Untuk mengisi waktu ia ikut bekerja dengan ayahnya di sawah. “Saya ini anak petani, tapi hanya dua tahunan di sawah. Tahun 1991 saya ke Jakarta. Di sana ada kakak,” ujarnya.

Sang kakak memberinya modal sebuah warung kecil di kawasan terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur. Ia antara lain menjual rokok dan aneka minuman.
Waktu itu, kawasan itu dikenal sebagai daerah keras yang banyak preman.

Yudikha mau tak mau harus berkompromi dengan mereka agar terus bisa bertahan berjualan di situ, tetapi ketika sudah menikahi Khotimah, pikirannya berubah. “Terus terang warung kaki lima itu sewaktu-waktu bisa digusur. Selain itu saya kerap dapat titipan ganja bahkan senjata tajam. Kalau ada razia polisi saya bisa kena,” urainya.

Keadaan itu membuat ia mulai memikirkan peluang usaha yang lain, yakni membuka warteg seperti salah satu kakaknya. Sembari tetap berjualan di warung kelontong, tahun 1995 ia memberanikan patungan dengan kenalannya untuk membeli warung kecil Rawa Terate Cakung, Jakarta Timur. Harga warung itu Rp 12 juta, sehingga ia harus membayar Rp 6 juta.

Uang pembayaran berasal dari tabungan dan bantuan mertuanya menggadaikan sertifikat ke bank. Oleh karena patungan, maka ia dan kawannya membuka warung secara gentian, masing-masing mendapat jatah berjualan per tiga bulan, lalu libur, tiga bulan kemudian berjualan lagi.

Khotimah yang semula tidak bisa memasak, belajar memasak dari rekanan yang patungan membeli warung tersebut. Pada awalnya ia dan istrinya saja yang mengelola warung itu. “Terus terang usaha ini bisa maju karena istri saya. Dia juru masak yang baik,” tutur Judikha memuji sang istri. Masakan istrinya yang enak membuat pembeli berdatangan ke warung miliknya.

Namun beban hutang membuatnya was-was. “Saat itu hati saya deg-degan setiap kali harus mengangsur hutang ke bank. Bagaimana caranya bisa bayar angsuran, yang lain tak usah dipikir. Misalnya makan seadanya yang penting bisa bayar utang,” katanya. Pengalaman itu yang membuat ia memberi kesempatan kepada pembeli waralaba wartegnya untuk mengangsur pinjaman hingga dua tahun.

Mereka boleh mengangsur sesuai kemampuan. “Saya tak pernah menentukan besaran angsuran dan tak pernah menagih ke mereka, karena saya pernah merasakan betapa susah dan deg-degan waktu harus membayar angsuran,” lanjutnya.

Ia bersyukur bisa membantu orang lain lewat cara itu, walau ada juga yang kemudian tak juga membayar hutangnya.

Tahun 1998, ia memberanikan diri membuka warung pertama miliknya di samping kantor kecamatan Cilandak Jakarta Selatan.

Ikhwal membuka waralaba warteg, Yudi menyebutnya sebagai kebetulan. Suatu kali seorang pekerja di warungnya yang sudah melihat kemampuannya mengelola warung mengusulkan agar Yudi membuka waralaba warteg.

Membangun usaha warteg bagi Yudikha memang tidak mudah tetapi ia menekankan, saling percaya menjadi unsur paling penting. “Dari semua warteg, yang dikata kurang berhasil hanya tiga buah, dua beli putus, satu dikelola pengelola tetapi pemilik tidak percaya akhirnya usaha tidak lancar,” ujar Yudi.

Sayudi

Lahir : Tegal 21 Juli 1973

Pendidikan : SD Negeri 3 Sidakaton, Tegal

Istri: Khotimah

Anak:
– Tommy Alexander
– Dhimas Yudho Prasetyo
– M Prima Risky

Oleh SOELASTRI SOEKIRNO DAN SUSIE BERINDRA

Sumber: Kompas, 19 Januari 2019

2 comments:

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.cc
    dewa-lotto.vip

    ReplyDelete
  2. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    ReplyDelete