Tuesday, September 12, 2017

Imam Bahri, Melenggang Hingga Negeri Jiran Bersama Rebana

Keberadaan grup-grup musik lslami seperti kasidah, hadrah, al banjari, memberikan peluang bisnis di bidang produksi alat rebana. Bahkan peluangnya cenderung membesar, karena grup yang mendendangkan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW serta doa-doa berupa salawat maupun marhaban terus bermunculan.

Penyelenggaraan lomba hadrah pun kian meluas dan seni rebana banyak ditampilkan sebagai pengiring pengantin serta hajatan keluarga seperti khitanan serta pengajian umum.

Tak pelak, perkembangan tersebut menjadi berkah bagi Imam Bahri, 39 tahun, produsen alat rebana asal Dusun Nongkokerep, Kec. Bungah, Kab. Gresik, Jawa Timur. “Saya menangani kegiatan produksi alat musik rebana sejak 1998, sesudah menempuh pendidikan di pondok pesantren, demi meneruskan usaha almarhum ayah saya,” ujar ayah dari dua putra itu.


Dalam rentang belasan tahun terakhir, Imam berhasil memasarkan produk alat rebana ke beberapa provinsi di Pulau Jawa maupun luar Jawa serta menembus Singapura dan Malaysia melalui pihak ketiga.

Usaha yang dijalankannya dengan dukungan 13 karyawan itu mampu meningkatkan taraf hidupnya, sesudah melakukan inovasi di bidang produksi serta perluasan pasar. Padahal, tatkala mewarisi usaha itu dari sang ayah, dapat dikatakan Imam memulainya dari nol. Di sekitar desa Imam juga terdapat sejumlah produsen alat rebana, sehingga terjadi persaingan dalam menjaring pembeli. Persaingan bisnis telah berlangsung puluhan tahun seiring dengan tumbuhnya sentra industri kecil peralatan musik Islami di kawasan tersebut.

Rebut Pelanggan
Belajar dari kondisi yang ada, Imam beranggapan untuk merebut pelanggan harus mampu menghasilkan produk berkualitas yakni tahan lama dan bunyinya bagus. Langkah tersebut juga dapat mengangkat harga jualnya.

“Setelah mewarisi usaha dari almarhum ayah, saya ingin mengembangkan produksi rebana dengan membidik pembeli yang membutuhkan produk berkualitas. Pangsa pasarnya cukup luas, karena grup kasidah, hadrah, dan al banjari bertumbuhan di banyak wilayah di dalam negeri,” tuturnya tentang strategi usaha yang dijalankannya.

Menurut Imam, daya beli para pemain musik Islami cukup kuat. Hal itu disebabkan oleh memainkan seni musik hadrah bukan sekadar didasarkan kesukaan, melainkan sekaligus mengembangkan syiar agama Islam.

Maka dia berupaya menghasilkan produk berkualitas yang dimulai dengan pemilihan bahan baku terpilih. Proses produksinya pun dikembangkan melalui penggunaan alat bubut yang digerakkan dengan dinamo. Sebelumnya, menggunakan peralatan manual.

Bahan baku utama alat rebana adalah kulit kambing, dan Bahri memilih kulit kambing betina. Alasannya, kulit kambing betina lebih kuat, elastis dan menghasilkan bunyi lebih bagus (bahasa Jawa: ulem).

“Saya mendapatkan pasokan kulit kambing betina dari pelaku usaha pemotongan kambing, dengan harga beli Rp 50.000 per lembar,” tutur Imam tatkala ditemui di tempat tinggalnya, belum lama ini.

Kulit kambing itu disamak sendiri dan dikerok bulu-bulunya hingga permukaannya menjadi halus. Bahan baku lainnya adalah kayu, di mana jenis kayu yang digunakan Imam terdiri dari jati, nangka, mahoni, mangga, dan mimba.

“Semua jenis kayu itu dapat menghasilkan bunyi rebana yang bagus, tapi yang paling bagus adalah bahan baku kayu nangka,” paparnya.

Kayu-kayu itu diperoleh dari para pemasok asal Magelang dan Solo (Jawa Tengah) serta Situbondo (Jawa Timur). Pembelian kayu dalam bentuk potongan ukuran panjang 60 cm dengan ketebalan 30 cm, dengan harga beli Rp37.500/potong kayu nangka, kayu jati Rp70.000/potong, kayu mimba Rp30.000/potong dan kayu mangga hanya Rp12.000/potong.

Selain itu, ada pula bahan baku penunjang berupa lempengan kuningan atau disebut kencer yang didatangkan dari Jepara, Jawa Tengah, dengan harga beli Rp180.000/set (dapat dipasang pada empat buah rebana) . Sejauh ini, ketersediaan semua jenis bahan baku tidak mengalami kendala.

Proses awal pembuatan alat rebana adalah membentuk bahan baku kayu dengan ukuran dan desain tertentu sesuai kebutuhan. Soalnya, ukuran dan desain rebana berbeda-beda antara hadrah, kasidah, dan al banjari.

Jumlah rebana yang dibutuhkan masing-masing kategori kelompok musik Islami itu pun tidak sama, yakni berkisar 5 unit - 8 unit rebana per kelompok. Proses pembuatan alat rebana tidak rumit dan alat produksi yang digunakan mencakup mesin bubut, palu, kunci pas.

Bahan baku kayu yang telah dibubut dengan pola/desain tertentu tidak langsung ditempeli kulit, melainkan didiamkan terlebih dulu selama 4 bulan agar tahan lama dan menghasilkan bunyi yang bagus.

Teknis pembuatannya diawali dengan menjepit kulit kambing pada kerangka kayu [yang telah dibentuk] menggunakan plat besi, kemudian dipaku, dan dipasangi kencer. Selanjutnya, bagian kayunya dipolitur. Menurut Imam, selembar kulit kambing dapat digunakan membuat empat unit/buah rebana dan sepotong kayu bisa diproses menjadi beberapa unit.

“Kami memasarkan produk rebana dengan harga jual berkisar Rp100.000 - Rp300.000 per buah, sedangkan harga tertinggi rebana yang berfungsi sebagai bas Rp900.000/buah. Penetapan harga jual didasarkan besar kecilnya ukuran produk dan bahan baku kayunya,” kata Imam, yang kini mempekerjakan 13 orang. (redaksi@bisnis.co.id)
-------------------------
Berdayakan Pelanggan Lama 

Saat memulai usaha, Imam mengaku mengalami kesulitan untuk memperluas penjualannya. Dia memanfaatkan sebagian pelanggan almarhum ayahnya, tetapi tentu membutuhkan pembeli lebih banyak lagi agar usahanya menjadi maju.

Cara yang dilakukannya adalah menempelkan namanya pada produk rebana yang dibuat dengan kualitas sebagus mungkin dengan pelat ukuran kecil. “Dengan menempelkan nama saya maka kalau pembeli merasa cocok dengan produk buatan saya akan memesan lagi saat membutuhkannya,” ujar Imam.

Cara yang sederhana itu berdampak positif, sekaligus menjadi promosi gethok tular (dari mulut ke mulut). Kenyataannya, lanjut Imam dia banyak mendapatkan pesanan dari Pulau Jawa serta luar Jawa berdasarkan promosi gethok tular.

Sebagian besar pemesan adalah pengguna langsung. Pesanan rutin datang dari kelompok-kelompok hadrah asal Jakarta, Pangkal Pinang, kota-kota di Kalimantan Selatan dan Sulawesi.

Selain mengandalkan promosi gethok tular, Imam juga beberapa kali mengikuti pameran di Jakarta maupun kota besar lainnya di Jawa yang difasilitasi PT Semen Gresik (Persero) serta Pemkab Gresik. Keikutsertaannya dalam pameran membuahkan hasil berupa datangnya order.

“Saya pernah memperoleh pesanan 1.000 buah rebana dari Tarakan, Kalimantan Timur, dan 1.000 unit dan Papua senilai ratusan juta rupiah,” papar Imam.

Sebagian pemesan asal Kalimantan Selatan juga Iazim menjualnya kembali ke Malaysia dan Singapura, mengingat kaum muslimin di negara tetangga ini juga memiliki kebiasaan memainkan hadrah dan salawatan.

Meluasnya pemasaran produk rebana itu menggelembungkan pendapatan Imam secara berkelanjuutan, tetapi dia mengaku pembukuan usahanya kacau, sehingga tidak tercatat tentang omzet yang dibukukannya dari tahun ke tahun. Yang pasti, dia telah mencapai peningkatan ekonomi dan mampu membangun fasilitas produksi serta gudang penyimpanan bahan baku kayu.

Imam ternyata tidak hanya menghimpun pendapatan dari memproduksi rebana, tetapi dia juga melayani jasa perbaikan perangkat tersebut. Soalnya, masa pakai rebana mencapai 3 tahun, dan sesudah itu mengalami kerusakan terutama bagian kulitnya robek akibat terus ditabuh.

Untuk itu, rebana perlu diganti kulitnya sekaligus dipolitur bagian kayunya agar mengkilap, sehingga tampak seperti baru. Bunyinya pun bisa kembali seperti semula.

“Banyak pemilik rebana menyerahkan perbaikan ke sini, karena lebih efisien dibandingkan membeli baru, biaya penggantian kulit hanya Rp 80.000,” tutur Imam tatkala ditemui di tempat produksinya, belum lama ini.

Kegiatan perbaikan rebana terutama dilakukan saat bulan puasa/Ramadan, karena pada bulan suci itu pesanan rebana baru mengalami penurunan. Pesanan mulai berdatangan dalam jumlah besar menjelang bulan Maulud, di mana Imam lazim membuat hingga 40 buah per hari.

“Pada masa lalu, kegiatan pembuatan rebana selama Ramadan berhenti total, sesudah Lebaran baru mulai berproduksi kembali. Maklum, pengguna rebana saat itu belum sebanyak sekarang,” kata Imam dengan logat khas daerah Gresik.

Mulai 1990-an pesanan rebana banyak mengalir dan penjualannya pun terus meningkat hingga kini, maka produsen/ perajin di sentra industri kecil tersebut di Kec. Bungah, Kab. Gresik, pada Ramadan tetap berproduksi kendati volumenya tinggal 50%. Dengan masuknya order perbaikan rebana rusak, maka Imam tetap bisa mempekerjakan karyawannya sepanjang tahun. (R322)

Adam A Chevny

Sumber: Edisi Minggu Bisnis Indonesia, 9 September 2012

No comments:

Post a Comment