Sunday, February 7, 2021

Inovasi Meningkatkan Produktivitas dan Kualitas Susu

Mata rantai produksi susu berkualitas dimulai dari induk unggul hingga penggunaan alat perah

Bisnis minuman olahan susu semakin menggiurkan. Lihat saja maraknya kafe berbahan baku susu di kota besar seperti Jakarta, Surabaya (Jatim), dan Medan (Sumut) yang digandrungi anak muda. Selain menyajikan rasa yang nikmat, kafe ini meng-gunakan nama unik nan kreatif. Sebut saja beberapa nama kafe kopi susu seperti Kopi Soe, Kopi Kenangan, Kopi Janji Jiwa, dan Kopi Lain Hati di Jakarta. Menuju Surabaya ada Kocak (Kopi Becak), Kopi Koko Nakal, dan Katuai Kopi. Sementara, Kopi Susu Semua Umur (KOSU) dan Mauku Kopi bisa dijumpai di Medan. 

Kafe tongkrongan generasi milenial itu menggunakan kopi dan susu segar berkualitas dengan harga rerata Rp20 ribuan/gelas. Belum lagi susu dan yoghurt kemasan aneka rasa yang permintaannya semakin meningkat seiring kesadaran konsumsi makanan dan minuman bergizi. Peternak sapi perah pun terus berinovasi untuk memenuhi kebutuhan susu berkualitas yang permintaannya semakin menanjak. Apa saja inovasi yang dilakukan? 

Dukungan Pemerintah 

Data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian (Kementan) menyebut, populasi sapi perah pada 2019 sebanyak 0,56 juta ekor dan ditargetkan naik menjadi 0,61 juta ekor pada 2020.Tahun ini Kementan menargetkan ekspor 49.225 ton susu. 

Di tengah pandemi Covid-19, Kementan terus meningkatkan ekspor. April ini, ucap I Ketut Diarmita, PT Greenfields Indonesia akan mengekspor susu dan produk susu olahan ke Singapura, Malaysia, dan Brunei sebanyak 417 ton senilai Rp5,67 miliar. "Kita akan mendorong dan memfasilitasi perusahaan-perusahaan yang berencana ekspor produk peternakan,"ujar Dirjen PKH itu di Jakarta, Senin (6/4). 

Berbagai inovasi meningkatkan produksi dan kualitas susu pun dilakukan pemerintah dan para pelaku usaha peternakan sapi perah. Kementan meluncurkan Pogram Sikomandan (Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri) dengan anggaran mencapai Rp 2,022 triliun. Dana itu antara lain untuk penyediaan benih, bibit, dan peningkatan produksi ternak Rp1,51 triliun; peningkatan produksi pakan ternak Rp 0,16 triliun; pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan Rp 0,35 triliun. 

Bahkan, Kementan menyiapkan kredit usaha rakyat (KUR) peternakan senilai Rp 9,01 triliun dengan bunga 6%. "KUR salah satu kebijakan pemerintah untuk pemerataan ekonomi. Sumber dananya dari penyalur KUR, sedangkan pemerintah berperan memberi subsidi bunga," jelas Ketut. 

Hingga Maret 2020, realisasi KUR peternakan mencapai Rp 3,03 triliun atau 33,63% dengan 107.891 debitur. Lembaga penyalur KUR ialah bank pemerintah, seperti BRI, Bank Mandiri, BNI, dan BTN, bank umum swasta, bank pembangunan daerah, perusahaan pembiayaan, dan koperasi simpan pinjam. 

Inovasi Skala Besar 

Perusahaan sapi perah skala besar semisal Green-fields melakukan inovasi budidaya hingga pasca-panen. Perusahaan ini mempersiapkan induk unggul, memelihara pedet jenis Friesian Holstein (FH) dan Jersey, budidaya yang baik sesuai kenyamanan sapi, memperhatikan kebersihan kandang, hingga menggunakan alat perah untuk menjamin kualitas dan higienitas susu. 

Menurut Hani Yudayan, Farm 1 Manager PT Green-fields Indonesia, awalnya Greenfields memelihara induk sapi jenis FH. Pada 2018 perusahaan ini mendatangkan sapi Jersey yang bersifat toleran terhadap cuaca panas dari Australia. Dari segi ukuran, Jersey lebih kecil, hanya 80% FH tapi kandungan susunya seperti protein, lebih tinggi. Jersey dewasa berbobot 450-500 kg, sedangkan FH mencapai 800 kg. Tidak ada perbedaan perlakuan Jersey dan FH. Namun, Jersey lebih hemat pakan 20% dengan produktivitas yang baik. "Itu potensinya. Kalau menyamai (FH), belum," ujarnya kepada AGRINA. 

Meski begitu, Hani mengang-gap Jersey dan FH belum bisa dibandingkan secara proporsional (apple to apple) karena genetika FH sudah mengalami perbaikan sementara Jersey sedang dikem-bangkan."Dari sisi reproduksi, Jersey lebih mudah hamil kembali. FH laju konsepsinya 33% atau tiga kali IB (inseminasi buatan). Sedangkan Jersey di angka 50%, dua kali IB saja bunting. Secara genetik lebih kecil, lebih cepat mengekspresikan birahinya kemudian cocok dengan cuaca di sini," paparnya. 

Untuk IB, Greenfields mengimpor semen beku yang jelas informasi genetiknya, seperti post pastrum estrus (PPE) atau birahi pertama setelah sapi melahirkan, ukuran tubuh, hingga potensi mastitis. Greenfields juga membatasi IB sampai sapi laktasi ke-8. Pasalnya, puncak produksi susu saat sapi laktasi ke-4 dan 5." Pertama kali melahirkan itu pada umur dua tahun. Jadi, sekitar 6 tahun itu adalah masa-masa puncak produktif. Itu kita berasumsi dia melahirkan tiap tahun,"imbuhnya. 

Pengelompokan 

Selanjutnya, setiap umur sapi diperlakukan berbeda. Pedet yang baru lahir hingga umur 30 hari ditempatkan di kandang individual."Setelah umur 30 hari, sekat dibuka. Jadi, ada 2 ekor pedet per boks,"kata Hani. 

Umur 1-3 bulan, pedet dimasukkan ke kandang kelompok berisi 10-15 ekor. Saat umur 4-5 bulan, kelompok diperbesar menjadi 80 ekor/kandang. Kelompok berlanjut berdasarkan umur 6-9 bulan dan 9-12 bulan hingga sapi siap IB. "Dengan targetnya ketika di-IB atau siap IB itu per 200 ekor," kata dokter hewan lulusan Universitas Airlangga, Surabaya, ini. 

Setelah IB serentak, sapi dipisahkan antara yang bunting dan tidak bunting. Kemudian, sapi berkelompok dalam kategori siap melahirkan 2 bulan atau 6 bulan sebelumnya sesuai umur. "Yang kita perhatikan kalau mau grouping itu ukuran dan jumlahnya. Beda usia itu nggak boleh, makanya ada sekat-sekat,"tegas Hani. Artinya, tidak bisa seekor sapi masuk grup baru atau 10 ekor masuk dalam grup 200 ekor karena sapi makhluk sosial yang memiliki pemimpin dalam kelompok. "Paling baik itu 50:50 dari kelompok. Nah, yang akan jadi pemimpin itu dari masing-masing kelompok tadi,” tukas Hani. 

Selain memperhatikan nutrisi dan kebersihan kandang, Greenfields menggunakan alat perah guna menjaga kualitas susu."Pada dasarnya waktu kita merangsang sapi untuk ngeluarin susu sendiri hanya 4 menit saja. Kalau pakai tangan, nggak mungkin untuk perah satu ekor sapi 4 menit,"jelasnya. Apalagi, alat perah akan terlepas otomatis saat susu berhenti mengalir. Ketika proses pemerahan berlangsung cepat dan tanpa paksaan, susu yang dihasilkan lebih optimal dan higienis serta masa perah berikutnya bisa lebih cepat. 

Sapi laktasi diperah tiga kali sehari. Sapi digiring dari kandang laktasi menuju kandang perah. Sebelum pemerahan, alat perah dan ambing sapi dibersihkan agar higienitas susu terjaga. Puting sapi juga dirangsang dengan handuk hangat sebelum diperah. Saat pemerahan, susu mengalir melalui pipa menuju tangki dan mengalami penurunan suhu dari 34° jadi 4°-2°C dalam waktu 10 detik. "Setelah itu kita dinginkan di dalam tangki. Jadi, kita jaga suhu pada 20 — 40C sampai dikirim ke processing (pengolahan) untuk menjaga kualitas," ucapnya. 

Susu Greenfields hanya mengandung 10 - 15 ribu total plate count (TPC) dari Standar Nasional Indonesia (SNI) 1 juta. Kecilnya tingkat cemaran mikroba ini karena kebersihan yang sangat diperhatikan sebelum dan setelah proses perah. Sebab itulah Hani menyarankan peternak menggunakan alat perah. "Waktu memerah, pakailah alat perah. Meskipun alat perah portable, itu jauh lebih baik ketimbang tangan karena kita juga sumber untuk menularkan penyakit. Terutama, dari manusia ke hewan atau dari hewan ke manusia lagi," tandasnya. 

Inovasi Skala Kecil 

Peternak skala kecil juga tidak mau kalah berinovasi. Jika kebanyakan peternak memelihara sapi perah sejak pedet, lain halnya dengan Miselan. Peternak di Dusun Krajan, Desa Gadingkulon, Kec. Dau, Kab. Malang, Jatim ini memilih segmen pembesaran pedet hingga bunting. Dia mengikuti anjuran Ir. Hermanto, MP, Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang. 

Hermanto menyarankan Miselan beternak pedet sistem koloni memanfaatkan dana KUR, dulu disebut Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), dari BRI. Hermanto memberikan gambaran analisis usaha pedet sistem koloni dan menjanjikan bim-bingan beternak yang baik. Pada 2014 Miselan meminjam dana KKPE Rp100 juta dengan bunga 6% dan jangka waktu 18 bulan. Dari 2-3 ekor sapi perah, ia pun memiliki 18 pedet umur 3 bulan seharga Rp4 juta/ekor. Sisa dana dibelikan pakan hijauan dan konsentrat. Sapi-sapinya ini dilindungi asuransi Jasindo untuk menghindari kerugian saat beternak. 

Banyak perubahan yang dilakukannya saat memelihara sapi sistem koloni. Misal, pedet umur 3-4 bulan tidak boleh diberi makan rumput, tetapi calf starter, yaitu susu dan konsentrat nutrisi tinggi tapi rendah serat. "Waktu itu saya nggak tahu, hajar aja pakai rumput, makanya mencret-mencret sapinya," bebernya sembari tersenyum. 

Apalagi, pedet juga tidak mau makan calf starter karena terbiasa diberi rumput."Awalnya kita beli sapi dari peternakan rakyat. Perlakuannya 'kan sama kayak yang saya lakukan, dikasih rumput. Sapinya nggak mau tapi kita perlu melatihnya," ulas Miselan. 

Selain itu, sapi yang biasa diikat lalu dibiarkan bebas bergerak di dalam kandang. Air minum juga selalu tersedia."Wadah air nggak boleh kosong dari mulai waktu pelihara sampai besar dan siap potong. Pengalaman di lapangan, pedet umur segitu airdijatah, biasanya dua liter sehari dua kali, pagi dan sore,” katanya. 

Kandang koloni dibuat sebagian beratap untuk memudahkan sapi berjemur lalu berjalan-jalan ke tempat istirahat, makan, dan minum. Pergerakan ini sangat baik untuk melatih kekuatan otot kaki sapi. 

Asuransi 

Ketika semua aturan beternak itu dijalankan sepenuhnya, Miselan mendapati sapinya cepat berahi. Biasanya sapi mulai berahi umur 18-24 bulan, "Sapi sekarang umur 11-12 bulan sudah minta IB. Yang bikin terkejut, kita hemat waktu 6 bulan, itu 'kan duit," cetusnya. 

Setelah bunting umur 4-6 bulan, sapi dijual ke peternak sapi perah yang menampung sapi laktasi. "Itu besar untungnya. Beli pedet harga Rp 4 juta/ekor itu laku Rp19 jutaan/ekor, dipotong biaya pakan dan obat-obatan sekitar Rp4,5 juta/ekor," ungkapnya. 

Bermodalkan kredit Rp100 juta, suami Rusmiati ini menghasilkan 6 sapi bunting seharga Rp19 juta/ ekor, 8 sapi berharga Rp18,5 juta/ekor, dan 4 sapi senilai Rp15 jutaan/ekor. Total penjualannya sekitar Rp300 jutaan. Jadi, dengan waktu pemeliharaan sapi hanya 14 bulan, pinjaman kredit pun terbayar lunas sebelum jatuh tempo. 

Saat ini Pak Lan, sapaannya, memelihara 18 ekor sapi yang terdiri dari 15 ekor sapi perah, dua ekor sapi potong jenis F1 Nelore, dan seekor sapi limousin. Ke semua sapi ini berasuransi Jasindo untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan selama pemeliharaan. Windi Listianingsih, Sabrina Yuniawati, Try Surya Anditya

----------------------------------------------------------

Sapi Nyaman, Produktivitas Lancar 

Dari lingkungan perkandangan yang nyaman, sapi-sapi akan berproduksi lebih optimal 

Kandang Beach Barn bisa diterapkan
oleh peternak mandiri
Susu dengan mutu tinggi hanya bisa diperoleh dari sapi yang sehat. Untuk itu, sebelum di-perah susunya, sudah sepatutnya sapi dirawat dalam keadaan dan kondisi terbaik. Dalam beternak, aspek kesejahteraan hewan atau animal welfare perlu diaplikasikan. 

Hani Yudayan, Farm 1 Manager PT Greenfields Indonesia, mewanti-wanti, kenyamanan sapi perah perlu diutamakan dalam pemeliharaannya. Baik dari sisi kandang, perolehan pakan, lingkungan, dan proses pemerahan.Tujuannya tentu saja untuk menghindarkan sapi dari stres. 

Sementara itu, Deddy F. Kurniawan, CEO Dairypro Indonesia mengungkapkan, mayoritas sapi perah yang dibudidayakan di Indonesia berjenis FH (Friesian Holstein). Berbeda dengan Jersey, sapi FH tidak toleran terhadap panas. Untuk itu, kandang dan lingkungannya mesti dimodifikasi agar sapi tetap nyaman dan lancar berproduksi. 

Mengurangi Heat Stress 

Iklim Indonesia yang tropis memicu sapi FH mudah terserang heatstress. Biasanya, sapi sudah mulai merasakan stres panas pada lingkungan dengan suhu di atas 25°C dan kelembapan di atas 40%. Dengan kriteria seperti itu, rasanya sulit menemukan wilayah yang memadai di Indonesia. Semakin tinggi temperature humidity index-nya, maka semakin rendah produksi susunya. 

Sapi yang kepanasan, imbuh Deddy, tidak suka makan tapi lebih suka minum. Dengan tidak bisa berkeringatnya sapi, panas akan dikeluarkan melalui lubang-lubang tubuhnya. Ketika terus-menerus lewat mulut, yang terjadi adalah pneumonia. 

Selain itu, heat stress juga memicu asidosis dan mempengaruhi performa reproduksi. Untuk meng-atasinya, lingkungan lokal kandang dimodifikasi dengan menyemprotkan air bertekanan. Suhu dan kelembapan adalah komponen utama terjadinya heat stress sehingga harus ada pergerakan udara di dalam kandang. Tujuannya untuk mengeluarkan panas dan menurunkan kelembapan udara. 

"Panas dari tubuh sapi harus cepat dibuang. Bisa pakai fan dan disedot keluar dengan exhaust fan. Kemudian ada watersprinkler-nya. Kalau pakai kipas saja nggak terlalu berpengaruh. Dikasih air agar efeknya signifikan," rinci Deddy. 

Modifikasi Kandang

Keberadaan water sprinkler membantu 
mengurangi heta stress pada sapi
Hani menuturkan, dalam memelihara sapi laktasi, farmnya menggunakan freestall tunnel barn yang memungkinkan sapi bebas bergerak di dalam kandang. Syaratnya pakan dan minum tersedia tiap waktu tapi tidak berlebihan. Supaya sapi leluasa makan, kandang diberikan headlock. "Sisa pakannya 3%-4%. Sapinya dibiarkan mau makan, minum, atau tidur. Tapi pakan tetap tersedia," bahas Hani. 

Kandang dilengkapi kipas untuk membantu sirkulasi udara di dalamnya. Meskipun kandangnya tidak tertutup, sirkulasi udara jadi lebih cepat. Di dalam tunnel, terdapat sprinkler untuk menurunkan temperatur tubuh sapi. 

Ketika sapi dikeluarkan untuk diperah, saat itu juga kandang dibersihkan, termasuk alas tidurnya. Pada kandang laktasi, alas menggunakan pasir lembut supaya bisa mengikuti lekuk tubuh sapi. Alasan lainnya, pasir merupakan bahan anorganik sehingga tidak banyak bakteri yang berkembang biak. 

Saat cuaca panas, pasir bisa mendinginkan, sebaliknya ketika dingin, pasir akan menghangatkan. Dengan kata lain, pasir mendukung penyesuaian suhu. Untuk sapi nonlaktasi, bisa beralaskan manure yang dikeringkan, jerami, dan rubber mat (karpet karet). 

Senada dengan Hani, Deddy mengatakan kesejahteraan hewan sangat terjamin di freestall. Akan tetapi, tidak semua peternak bisa mengimplementasikannya. Agar lebih terjangkau, ia menyarankan untuk memodifikasi kandang menjadi"the beach bam". 

Kandang ini mengadopsi sistem pastura (padang penggembalaan) namun di dalam ruangan. Penerapan model kandang ini tidak memasang komponen-komponen yang mahal. Untuk alas tidurnya, diberikan serbuk gergaji yang bisa diganti tiap 3 bulan. Serbuk gergaji setiap hari ditambah setelah kotoran sapi diambil.

(atas) dalam memelihara sapi laktasi,
farm menggunakan freestall tunnel born.
(bawah) kebersihan semua lini harus
dijaga, termasuk alat perah
Dengan kandang seperti ini, ia menjamin kenyamanan bukan hanya bagi sapi, tapi juga peternak. Selain itu, penggunaan air lebih efisien dan bedding (alas tidur) lebih mudah didapat karena berbahan lokal. Pada prinsipnya, kandang tidak banyak tembok supaya aliran udara bagus dan sapi hanya perlu diikat ketika makan atau diperah.

"Dari kandang begini, mendeteksi panas, birahi, kepincangan juga lebih enak. Satu sapi hanya butuh 8 m2. Memandikan sapi 3 bulan sekali sewaktu ganti alas,"jabar Deddy. 

Kebersihan Alat Perah 

Dari segi alat pemerah, Hani menuturkan, kebersihannya tentu saja harus dijaga. Sesaat setelah alat perah dipakai pasti dibersihkan dengan cara clean in place (CIP). Metode pencucian otomatis ini, dimulai dari alat perah dimasukkan ke dalam pipa yang terhubung dari tangki air. 

Pertama-tama, alat dibilas dengan air hangat 40°C supaya Iemak susu yang tertinggal terangkat. Kemudian dibilas dengan air bersuhu 80°C yang berisikan deterjen dan klorin agar bakteri terbunuh. "Proteinnya terangkat, fat-nya terangkat. Abis itu dibilas," jelasnya. 

Setelah itu, diberikan acid ber-pH 2 dengan suhu 40°C yang bertujuan membunuh semua bakteri di dalam pipa maupun di karet tempat susu keluar. Kemudian dibilas sampai pH-nya 6-7 dan dibilas dengan air biasa. 

"Setiap fase yang mulai memakai deterjen ini dicek pH-nya. Dibutuhkan pH 14 untuk bisa bekerja sebagai pengambil kotoran yang terlarut," ulasnya. 

Alat pemerah ini terbilang mahal, tetapi inilah yang menurut Hani paling efektif untuk meningkatkan produksi susu. Sebab pada dasarnya, waktu yang dibutuhkan untuk merangsang sapi mengeluarkan susunya hanya 4 menit. la menjelaskan, level oksitosin yang merangsang keluarnya susu akan tinggi pada dua menit pertama, setelah itu akan turun.

"Sebenarnya alat perah itu hanya memindahkan susu yang ada di ambing ke dalam tangki. Alat itu tidak menyedot secara berlebihan karena akan rusak juga. Ketika alat itu bersih, cepat, dan tuntas, maka sapi akan merasa nyaman dan akan mem-produksi susu lebih banyak lagi," pungkas pria yang bergabung dengan Greenfields sejak 2009 ini. --Try Surya Anditya, Windi Listianingsih

---------------------------------------------

Merawat Laba dari Sehatnya Sapi 

Faktor penentu untung dan ruginya peternak sapi perah bukan dari harga susu semata. Utamanya, dari kesehatan sapi itu sendiri. 

Deddy F, sapi sehat akan membuat
peternak tetap untung
Di semua lini usaha peternakan, apapun levelnya, pada dasarnya peternak melakukan usaha untuk meraup keuntungan. Tak terkecuali sapi perah. Prinsipnya no cow — no milk— no money (tidak ada sapi - tidak ada susu - tidak ada uang). Dengan kata lain, sapi yang kesehatannya terjaga akan memproduksi susu berkualitas secara optimal yang kemudian mendatangkan keuntungan bagi peternak. 

Deddy Fachruddin Kurniawan, peternak sapi perah asal Kota Batu, Jawa Timur, mengemukakan, faktor penentu performa ternak meliputi animal welfare (kesejahteraan hewan - kesrawan), heat stress, nutrisi, dan kesehatan umum. Kemudian dua hal yang menjadi target utamanya adalah produksi dan reproduksi. 

"Target produksi adalah menghasilkan susu berkualitas dengan kuantitas baik. Sementara reproduksi untuk menghasilkan pedet sebagai jaminan keberlangsungan produksi susu," terangnya kepada AGRINA belum lama ini. 

Agar sapi selalu sehat dan produktivitas optimal, berikut langkah-langkah yang bisa dicermati. 

Mulai dari Kering Kandang 

Untuk mendapatkan jarak kelahiran (calving interval ) 12 — 14 bulan atau sapi beranak sekali setahun, periode kering kandang tidak boleh luput dari perhitungan. Deddy merinci proses yang terjadi sepanjang 365 hari (12 bulan) masa calving interval. Kebuntingan mengambil waktu 9 bulan 10 hari (280 hari). Kemudian 40 hari untuk involusi rahim agar sapi bunting kembali. Sisa waktu 45 hari inilah yang dibutuhkan untuk membuat sapi menjadi bunting. 

"Ada waktu dari hari ke 40-85 untuk membuat sapi bisa dikawinkan dan bunting. Targetnya satu sapi setiap tahun," tutur CEO Dairypro Indonesia ini. 

Ketika sudah kering kandang, sapi perah biasanya dibiarkan saja oleh peternak. Padahal, Deddy menekankan, terdapat faktor kritis yang harus dipahami. Terutama sapi jangan sampai stres dan peternak wajib memberikan obat kering kandang untuk mengontrol parasit. 

Pada masa kering, jumlah energi dalam pakan perlu dikurangi agar sel-sel ambing sapi beristirahat. Kemudian sebaiknya pemerahan tetap dilakukan secara normal, yaitu dua kali sehari untuk menguras bakteri yang tetap ada di dalam ambing. Sebab bakteri berkembang dua kali lipat tiap 20 menit pada suhu normal. Semakin ditunda perah, semakin memberi kesempatan berkembangnya bakteri. 

"Obat bakteri saat kering kandang digunakan untuk mencegah bakteri berkembang, apalagi saat itu daya tahan tubuh sapi menurun," bahas dokter hewan lulusan IPB ini. 

Suwadi Hartono, kombinasi
mineral makro dan mikro untuk
produksi susu yang lebih banyak
Memberi Tahapan Mineral 

Deddy mengungkapkan lebih lanjut, begitu bergerak melahirkan dan menghasilkan susu, sapi membutuhkan mineral seperti kalsium. Kalsium ini bersumber dari usus dan hati. Untuk itu, sapi yang menjelang masa melahirkan jangan diberikan makan secara ad libitum (terus menerus). Sebab nantinya sapi akan menumpuk lemak di hati (fatty liver). Dengan keadaan demikian, kecepatan mobilisasi energi jadi terganggu. 

Senada dengan Deddy, Suwadi Hartono, Regional Manager Medion mengamini pentingnya mineral. Menurutnya, kombinasi asupan mineral makro dan mikro diperlukan dalam pertumbuhan, kesehatan, produksi, dan reproduksi ternak. 

"Mineral makro seperti kalsium (Ca), fosfor (P) dan kalium (K) berperan penting dalam aktivitas fisiologis dan metabolisme tubuh, sedangkan mineral mikro seperti mangan (Mn), tembaga (Cu), zinc (Zn), kobalt (Co), iodine (I) dan selenium (Se) berperan untuk aktivitas enzim dan hormon dalam tubuhflabarnya 

Memprioritaskan Kelahiran Secara Normal 

Perkara melahirkan, Deddy memprioritaskan sapi melahirkan secara normal. Dengan catatan, posisi pedet dan durasi keluarnya normal. Sapi yang pernah melahirkan batasnya dua jam, sedangkan sapi yang belum pernah melahirkan batasnya tiga jam. 

Budi Tangendjaja, kurangnya
kualitas dan ketersediaan pakan
masih menjadi kendala
 

Pada dasarnya semua sapi mampu melahirkan sendiri selama energinya cukup dan posisi pedetnya normal. Sebab, antara indukan dan pedet memiliki birth reflex masing-masing. Yang jadi masalah, peternak di dalam negeri terbiasa dengan tarik-menarik pedet yang dilahirkan. Dengan serviks yang robek dan luka, calving interval bakal molor, tidak mungkin tercapai dalam 12 bulan. 

"Sebanyak 75% masalah gangguan reproduksi seperti mastitis berawal dari prosedur kelahiran yang keliru. Induk yang mengejan dengan baik sebelum dua jam, jangan dibantu melahirkan. Ketika balon keluar, dibiarkan saja jangan dipecahkan. Balon akan pecah, kaki kelihatan dan jangan ditarik," rinci pria yang sudah lebih dari 15 tahun berkancah di peternakan sapi perah itu. 

Selanjutnya, sapi yang baru melahirkan akan mengalami lima anomali fisiologis yang dimulai sekitar dua minggu saat mempersiapkan kelahiran atau masa transisi. Anomali ini meliputi asidosis dan stres, rendahnya asupan energi akibat nafsu makan turun, kehilangan cairan tubuh yang banyak saat melahirkan, matinya mikroba rumen karena stres dan asidosis, serta rendahnya kadar kalsium dalam tulang dan darah. 

Peternak bisa membantu pemulihan kondisi sapi dengan suplementasi pada tiga hari pertama berturut-turut secara drenching (dicekoki). Energi, suplemen, elektrolit, antistres, antiasam, mikroba rumen dimasukkan menjadi satu suplemen melalui minum. Sapi diberi minum sebanyak mungkin supaya rumen penuh. Tujuannya agar nanti tidak banyak displasia. 

Mencegah Mastitis 

Selain calving interval, faktor lainnya yang menentukan untung ruginya peternak adalah kejadian mastitis (infeksi yang merusak sel ambing). Kerugian yang ditimbulkan mastitis ini cukup besar. Deddy mencontohkan, sapi yang produktivitas susunya 17-18 liter bisa anjlok separuhnya. Kemungkinan sembuh atau produksi naik lagi masih ada asalkan kering kandangnya bagus. 

Radang ambing,(mastitis) menurunkan
kualitas dan kuantitas produksi susu

Hani Yudayan, Farm 1 Manager PT Greenfields Indonesia menimpali, peluang terjadinya mastitis akan tetap ada namun sebisa mungkin diminimalkan. la menuturkan, mastitis memang menjadi masalah penyakit terbesar yang mungkin disebabkan manajemen dan faktor genetik. 

Penyebab mastitis mulanya bakteri. Tapi ukuran ambing itu diturunkan dari induknya. Sapi perah betina yang baik mempunyai puting di atas lutut sehingga tidak mudah terkena kotoran. 

"Tinggal kita secara manajemen mengeluarkan potensi sapi itu. Jadi, misal potensinya bisa 60 liter, kalau manajemennya buruk cuma bisa 35 liter dan mati. Fokusnya bukan berapa kali kena mastitis, tapi seberapa cepat dia recovery (pulih). Dalam 20 hari tidak pulih, maka sapi itu akan di-culling (diafkir),"tandasnya. 

Suwadi menambahkan, mastitis disebabkan mikroorganisme patogen atau bakteri di dalam kelanjar susu. Berdasarkan gejala klinisnya, mastitis dibedakan menjadi klinis dan subklinis. Pada mastitis klinis terjadi perubahan fisik susu, sementara sub-klinis tidak terdapat perubahan namun saat uji mastitis dilakukan terjadi peningkatan sel darah putih di dalam susu. 

Perbandingan kualitas hasil susu mastitis (kiri)
dan normal (kanan)
Selain menurunnya kualitas susu, Suwadi mengamini, mastitis juga meningkatkan biaya pengobatan dan ternak menjadi lebih cepat diafkir. Pengobatan terhadap mastitis dapat dilakukan dengan antibiotik sesuai dengan bakteri yang menginfeksi. Supaya optimal, uji sensitivitas antibiotik terhadap bakteri bisa dilakukan sebelum pengobatan. 

"Menjaga kebersihan mengurangi risiko penyakit mastitis. Utamakan pemberian produk alami yang selain berfungsi mencegah juga bisa meningkatkan produksi susu. Dengan begitu tidak ada with-drawl time (waktu henti obat), tidak ada residu, serta aman digunakan selama periode laktasi,"sarannya. 

Asupan Pakan 

Pada kesempatan lain, Prof. Budi Tangendjaja, ahli nutrisi dan pakan ternak mengatakan, rendahnya produktivitas sapi perah sebagian besar akibat kurangnya jumlah dan kualitas pakan. la berujar, masalah pakan sapi perah di Indonesia biasanya seputar keterbatasan hijauan, kadar aflatoksin, dan tambahan mineral serta vitamin. 

Tanaman jagung dapat digunakan sebagai sumber hijauan, namun ia mewanti-wanti, waktu panen perlu diperhatikan terutama untuk silasenya. Peternak bisa juga memanfaatkan Dried Distillers Grains with Soluble (DDGS), produk hasil samping bioetanol dari jagung. 

"Sebagai bahan pakan alternatif, DDGS tidak mengandung antinutrisi dan memiliki tingkat aflatoksin yang sangat rendah. Ini merupakan sumber energi, protein, dan fosfor yang baik untuk pakan sapi perah," ucap peneliti di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi, Bogor ini. 

Hani pun sepakat dengan Budi. Menurutnya, selain silase, sumber energi yang sering dipakai berasal dari jagung pipil. Dengan naik turunnya harga jagung, mau tak mau kebutuhan tersebut tetap harus dipenuhi. Yang terpenting, kandungan nilai aflatoksinnya rendah. 

Locomtion Score, metode untuk mendeteksi
sapi pincang
"Sapi-sapi selalu dimanjakan dengan pakan sehat yang terdiri dari jagung kualitas terbaik, biji-bijian, dan hijauan yang mengandung protein dan serat tinggi," bebernya. Hani bercerita lebih jauh, agar sapi perah meneri-ma nutrisi secara komplet, penggunaan Total Mixed Ration (TMR) bisa diandalkan. Dengan alat pencampur pakan tersebut, baik hijauan, konsentrat, mineral, premix, maupun vitamin bisa menjadi sebuah kesatuan pakan. 

Perawatan Kuku, Mencegah Pincang 

Layaknya manusia, kuku sapi juga diberikan perawatan "pedikur". Sebab pada dasarnya, jelas Hani, sapi tidak bertumpu pada telapak kaki melainkan pada kukunya untuk berdiri. Kuku sapi yang tidak dirapikan akan membuat sapi kesulitan beraktivitas, misalnya menuju tempat pemerahan, makan, dan pergerakan lainnya. 

Alasan utama lain pemotongan kuku adalah untuk kesehatan. Bentuk kuku sapi yang terbelah, mem-buat celah antara kuku tersebut mudah terisi oleh kotoran yang bisa menyebabkan infeksi.

"Perawatan kuku itu dua bulan sebelum sapi melahirkan (usia 22 bulan). Berikutnya pada pertengahan masa laktasi atau 150 hari setelah melahirkan. Setelah itu dua bulan lagi sebelum melahirkan dan begitu seterusnya. Jadi dua kali dipedikur dalam satu kali masa laktasi," ulas lulusan kedokteran hewan Unair Malang ini. 

Senada dengan Hani, Deddy mewajibkan pemeliharaan kuku sapi dilakukan secara rutin. Pasalnya, kuku yang tidak terawat bisa menimbulkan penyakit yang bisa membuat pincangnya kaki sapi (cattle lameness). Hal ini juga mengakibatkan profit peternak jauh berkurang. 

Kepincangan pada sapi perah, jelas Deddy, dapat diidentifikasi melalui locomotion scoring. Metode ini merupakan indeks kualitatif dalam mendeteksi kemampuan sapi untuk berjalan secara normal melalui penilaian visual. Skor yang dipakai berskala 1 sampai 5. Poin yang menjadi penilaian adalah posisi punggung sapi saat berdiri dan berjalan. "Pincang akan berefek kepada BCS (Body Condition Score), buruknya rasio konversi pakan (Feed Convertion Ratio - FCR), menurunnya performa pro-duksi dan reproduksi, menambah biaya pengobatan, dan ambruknya sapi," tandas Deddy. ---Try Surya Anditya, Windi Listianingsih

----------------------------------------------------------

Mahakarya Setetes Susu 

Greeffields, memelihara sapi memperhatikan
prinsip kesejahteraan hewan
Standar kelas dunia yang memperhatikan kenyamanan sapi. 

Sapi yang bahagia akan menghasilkan susu berkualitas. Itulah filosofi PT Greenfields Indonesia dalam memproduksi setiap tetes susu. Karena Greenfields percaya, ada kebaikan di setiap tetes susu Greenfields. 

Tonggak sejarah 

Terletak di Desa Babadan, Kec. Ngajum, Kab. Malang, Jatim, peternakan sapi perah Greenfields membentang seluas 60 ha di ketinggian 1.200 m di atas permukaan laut. Peternakan ini dibangun 14 Maret 1997 dengan mendatangkan 200 ekor sapi perah Friesian Holstein (FH) dari Australia. Kemudian, hadir pabrik pengolahan pada 1999 dan peluncuran susu Greenfileds di Indonesia pada 2000. 

Menurut Hani Yudayan, Farm 1 Manager PT Greenfields Indonesia, saat ini ada 8.200 ekor po-pulasi sapi jenis FH dan Jersey di peternakan yang berdiri di sisi timur Gunung Kawi itu. Sekitar 3.900-an sapi laktasi yang terdiri dari 1.600 ekor Jersey dan 2.300 FH, selebihnya pedet, dara, hingga sapi siap melahirkan."Saat ini produktivitas FH di angka 32,8I/ekor/hari. UntukJersey di angka 20,81/ekor/ hari. Total Solid-nya FH di 12,4%, protein 3,2%, dan lemak 3,8%. Untuk Jersey total solid 13,6%, protein 3,4%, lemak 4,5%. Produksi di Farm 1 itu 107 ton sehari, setahun ada 39 juta liter," urainya. 

Sejak dilahirkan hingga laktasi, sapi dipelihara memperhatikan prinsip kesejahteraan hewan. Pedet misalnya, diberi nutrisi sesuai kebutuhan pertumbuhan dan tinggal nyaman di kandang beralas jerami atau rubber mat dilengkapi kipas untuk sirkulasi udara. Sedangkan, sapi laktasi menempati kandang ukuran 150 m x 15 m yang beralas pasir dan diber-sihkan 3 kali sehari. 

Di Farm 1 ada 10 kandang laktasi dan 14 kandang nonlaktasi. Kandang nonlaktasi terbagi menjadi kan-dang dewasa nonproduktif dan kandang pedet. Farm ini dilengkapi lab, gudang pakan, gudang komoditas, gudang suku cadang, bengkel, kantor, mess karyawan, gedung serbaguna, dan pos satpam.Tempat memerah susu pun dibedakan menjadi dua, untuk sapi yang sehat dan yang sakit. 

Teknologi Tinggi 

Hani menjelaskan, yang ideal lokasi kandang laktasi dekat tempat pemerahan susu. Namun, topografi farm 1 tidak memungkinkan membuat tempat perah yang datar dan luas. Pada 6 Maret 2018, Greenfields membangun farm 2 di Desa Ngadirenggo, Kec. Wlingi, Kab. Blitar, Jatim seluas 172 ha. Peternakan ini ditempati 9.500 sapi FH yang menghasilkan 45 juta Iiter susu setahun. 

Farm 2 menerapkan standar kelas dunia dengan fasilitas modern dan dioper4ikan secara otomatis untuk memproduksi susu kualitas premium tanpa sentuhan tangan manusia. Farm ini menggunakan teknologi pemerahan susu otomatis dengan sistem berputar. Alat bernama Boumatic ini berkapasitas 80 ekor sapi yang dioperasikan 7 petugas. Sapi berputar mengikuti pergerakan Boumatic untuk dirangsang dan diperah secara otomatis. Jadi lebih efisien dan efektif," jelasnya. 

Kandang farm 2 juga mengadopsi teknologi tertutup dengan tunnel ventilation agar sapi nyaman. Didukung pula sistem pencahayaan long-day serta kipas angin sistem hibrida yang mengombinasikan sistem tiup dan sedot sehingga produktivitas susu optimal. 

Kualitas premium mengantarkan Greenfields menjadi perusahaan sapi perah terbesar di Asia Tenggara. Pada 2003 Greenfields mulai menembus pasar Asia melalui Singapura, lalu mendirikan 7 farm di China. Perusahaan ini membangun Shanghai AustAsia Food Co.Ltd pada 2013 dan meluncurkan merek susu Greenfields di China setahun kemudian. Selain pasar domestik, susu Greenfields kini juga tersebar di Hongkong, Malaysia, Filipina, China, dan negara lainnya. ---Windi Listianingsih, Try Surya Anditya

-----------------------------------------------------------------

Miselan, Masalah Membawa Berkah 


Keterpaksaan menghadirkan ide-ide kreatif mengatasi masalah. 

Berbagai masalah menghampiri setiap fase kehidupan manusia. Ketika optimis menghadapinya, akan selalu ada solusi yang membawa pada kehidupan yang lebih baik. Demikianlah Miselan, peternak sapi di Dusun Krajan, Desa Gadingkulon, Kec. Dau, Kab. Malang, Jatim, yang optimis menjalani hidup hingga menjadi tumpuan ilmu masyarakat sekitar. Apa saja yang ia lakukan? Simak kisah menariknya kepada AGRINA. 

Dorongan Ekonomi dan Sosial 

Miselan awalnya seorang pekerja bangunan. Setelah menikah pada umur 22 tahun, kebutuhan memperoleh peng-hasilan rutin untuk keluarga menggelayut di benaknya. Pria kelahiran 5 Mei 1967 ini terpikir beternak sapi perah karena mendapat bayaran susu dari koperasi tiap 10 hari sekali. Sambil menjadi buruh, ia memelihara seekor sapi perah untuk menutupi kebutuhan dapur. Perlahan, sapi beranak jadi 2 ekor. Tuntutan ekonomi membuat Pak Lan, sapaannya memutuskan memelihara sapi dan bertani. 

Seiring bertambahnya biaya hidup, sapi Pak Lan yang ada 5 ekor pun dijual satu per satu hingga menyisakan 2 ekor. Sapi itu digunakan untuk biaya sekolah dan kuliah kedua anaknya. "Kalau usaha ini nggak saya besarkan, nggak kuat membiayai anak sampai lulus 51. Paling tidak, aset bisa melayang," ucapnya. Saat itu di 2012, Ketua Kelompok Tani Gading Mandiri ini juga menampung keluhan anggota yang ingin beternak Kambing Boer. "Masa, jadi ketua kelompok nggak bisa bawa perubahan di organisasinya. Walaupun nggak punya pengalaman ya harus cari solusi," ungkapnya. 

la lantas mencari informasi Kambing Boer yang dikembangkan Universitas Brawijaya (UB). Kemitraan Kambinng Boer berjalan lancar sementara Pak Lan tetap beternak sapi. Perjalanan ini kemudian membawanya bertemu Ir. Hermanto, MP, Dosen Fakultas Peternakan UB yang menyarankan beternak pedet sistem koloni. "Pak Miselan, sampean (kamu) harus jadi pelaku pertama. Bagaimana pelihara sapi ini jadi komoditi utama untuk usaha, berarti jumlah harus banyak. Sampean harus jadi pelaku pertama supaya nanti bisa cerita pengalaman keanggota yang lain," ia menirukan Hermanto. 

Meski modal membeli pedet disediakan bank BRI, Miselan gundah-gulana. "Itu masa ketar-ketir nggak karuan. Soalnya megang kartu ATM aja nggak bisa, megang hp yang dipencet-pencet hurufnya aja nggak bisa," kenangnya. Karena dijanjikan pendampingan dari UB dan analisis usaha yang jelas, Miselan menurut. Pada 2014 ia memperoleh Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) senilai Rp100 juta dengan bunga 6 % selama 18 bulan. Sapi-sapi ini juga dilindungi asuransi Jasindo agar peternak aman dari kegagalan usaha. 

Dana itu dibelikan 18 pedet umur 3 bulan senilai Rp4 juta/ekor dan pakan. Pembuatan kandang dibantu UB. "Waktu itu nggak bisa tidur, takut nggak balik (modal). 'Kan utang Rp 100 juta. Makanya peternak jarang yang berani melakukan jejak saya. Takut ya tahu-tahu punya utang Rp 100 juta,"lanjutnya. 

Solusi Cacing 

Pak Lan mengaku awalnya sulit beradaptasi dengan aturan beternakyang baik, terlebih saat sapi sakit."Saya sendiri juga sampai sakit, stres. Terus malah disuruh mengenal pengobatan juga. Bagaimana menangani sapi sakit, harus di suntik obat apa, wah stres nggak karu-karuan itu pertamanya. Akademisi datang membawa dokter ke kandang. Saya disuruh dokter nyuntik sapi sendiri, cuma satu kali dikasih contoh. Jadi peng-alaman masuknya saya mendapatkan ilmu di situ nggak mudah,' beber pria yang ketakutan sapi mati saat pertama kali menyuntik. 

Hermanto pun kerap inspeksi dadakan ke kandang koloni. Waktu diminta selalu sedia air di kandang, Pak Lan tidak melakukan karena terbiasa memberi jatah minum."Makanya ketahuan kalau saya sering "curang" (tidak mengikuti aturan beternak)," ucapnya tertawa. Karena ingin berhasil, Pak Lan berupaya mengikuti cara yang dianjurkan. 

Berkat pendampingan UB, ia berhasil menerapkan budidaya pedet koloni untuk dijual saat sapi bunting. Dalam waktu 14 bulan, sapi yang dipelihara sudah bunting dan laku dijual ke peternak sapi perah senilai Rp300 jutaan. Masa pinjaman KKPE pun bisa dilunasi lebih awal."Itu belum jatuh tempo, sudah kita kembali-kan modalnya. Akhirnya, 1 periode kita jalani itu sebagai ilmu dan pengalaman pribadi di lapangan," katanya. 

Sebulan ternak pedet berjalan, timbul masalah kotoran sapi. Karena setiap kandang sapi ada tempat yang kumuh, Suami Rusmiati ini terbesit usaha yang bisa menghasilkan uang. "Akhirnya ide cacing itu. 'Kan cacing hidup di tempat yang kumuh, ternyata keuntungannya tinggi juga"tukasnya semringah. la lalu mencari pengusaha cacing dan mengikuti pelatihan budidaya cacing. Selanjutnya, ia membeli induk cacing dan memasarkan hasil panennya ke pengusaha tersebut. Media hidup cacing bermanfaat pula sebagai pupuk kompos untuk memupuk tanaman jeruk di samping rumah. "Banyak ide muncul karena terpaksa. Jangan mudah menyerah, harus terus cari solusi," serunya penuh semangat. 

Mulanya ia mengangkut kotoran sapi untuk media hidup cacing."Lama-lama kita berpikir kok sengsara begini. Akhirnya ada ide langsung mengalirkan (kotoran) ke lahan cacing jadi nyaman. Kita bersihin kandang juga beri makan cacing sekaligus,"paparnya.Saat pemasaran cacing terkendala kelebihan suplai, Pak Lan kembali putar otak. Selain menjual cacing ke pemancing ikan, ia budidaya lele."Kalau cacing tidak terjual semua, saya harus jual lele. Berikan (cacing) ke lele," imbuhnya. 

Menuju RPL 

Budidaya lele dengan cacing sebagai pakan, ternyata bagus perkembangan. Namun, ayah 2 anak ini lagi-lagi menghadapi masalah. Budidaya lele dalam drum ternyata cukup banyak menggunakan air. Air yang tercampur kotoran lele harus di-buang agar tidak meracuni si kumis. Kotoran yang mengandung nitrogen ini justru dibutuhkan tanaman. "Saya tarik (air) pakai aerator, nitrogennya ini supaya dimanfaatkan tanaman.Tanaman bisa hidup tanpa tanah," katanya yang membuat pertanian terintegrasi atau akuaponik ini setelah konsultasi dengan seorang dosen. 

Air yang dialirkan ke tanaman menjadi jernih ketika kembali ke drum.Tanaman tumbuh subur dan lele juga sehat. Sementara, penggunaan air jadi hemat sebab tidak lagi terbuang."Jadi airnya hanya pu-tar-putar saja. Paling 5 hari sekali tambah air,"jelasnya. Sayuran yang ditanam pada sistem akuaponik misalnya sawi, kangkung, seledri, bawang daun, hingga padi. Padi dipilih untuk menjaga pangan pokok keluarga. 

Pak Lan ingin menerapkan rumah pangan lestari (RPL) yang bisa ditiru masyarakat sebagai bentuk ketahanan pangan keluarga. Salah satunya, membuat budidaya lele dalam ember (budamber) yang dirangkai akua-ponik. Budidaya lele dalam ember bervolume 80 I ini sangat mudah dilakukan di rumah untuk pertanian per-kotaan (urban farming)."Saya senang belajar demi orang lain. Saya ingin memajukan desa ini dengan ilmu. Otomatis harus ada masyrakat yang menguasai ilmu dan ini cerita ke temannya dengan bahasa yang sama," tutupnya yang semangat menggali ilmu dari berbagai pihak dan membaginya pada masyarakat. ---Windi Listianingsih, Sabrina Y.

Sumber: Majalah  Agrina Edisi No 310 - April 2020 

No comments:

Post a Comment