Thursday, September 5, 2019

Menangkal Kerusakan Bisnis Gegara Disinformasi

----Laporan Pew Research Center 2019 seperti dikutip pada laporan "Protecting Brands From Malicious Misinformation" yang disusun oleh Harvard Business Review Analytic Services

Semakin banyak opsi untuk mengakses informasi, semakin banyak pula pihak yang berkepentingan memanipulasi informasi. Pebisnis harus menyiapkan strategi untuk merespons disinformasi, bahkan sebelum ancaman mewujud nyata

Bagi entitas bisnis, perkembangan teknologi informasi terus meretas keterbatasan untuk memperbesar peluang. Keberlimpahan informasi adalah "pasar" ide sekaligus dorongan inovasi yang tak berbatas.

Produk didesain lebih tepat merespons kebutuhan, pasar meluas, layanan pun lebih cepat. Cara kita mengarungi lautan informasi, pola konsumsi, sekaligus strategi bisnis berevolusi seiring adaptasi terhadap perkembangan teknologi.

Akan tetapi, pada saat yang sama, membanjirnya informasi juga menyuguhkan tantangan. Bagi konsumen maupun pebisnis, keberlimpahan ini tak jarang justru menyulitkan pencarian informasi yang betul-betul berguna, relevan, serta tepat pada saat dibutuhkan.

Di satu sisi, konsumen bergelut dengan “tsunami” penawaran barang dan jasa. Aneka barang dan jasa ini bisa jadi memang dibutuhkan. Namun, tak sedikit pula yang didesain dengan sistematik untuk menggelembungkan keinginan, tanpa kesadaran akan kapasitas.

Di sisi lain, pebisnis mesti mengelola pasar dan publik yang di antaranya terdiri dari individu-individu “berkepribadian” ganda--di ranah virtual dan nyata--bahkan algoritma dalam jejaring sosial.

Di antara keberlimpahan informasi tersebut, muncul kemelut, karena penyebaran informasi yang disengaja untuk memanipulasi persepsi publik (disinformasi). Ada pula penyebaran informasi yang mengandung kebenaran, tetapi sengaja dipenggal atau dilepas dari konteksnya sehingga menimbulkan distorsi persepsi.

Semakin banyak opsi untuk mengakses informasi, semakin banyak pula pihak yang berkepentingan memanipulasi ekosistem informasi.

Jauh-jauh hari, Julian Assange, co-founder WikiLeaks, dari tahanan rumah di Inggris pada 2011, sudah menyampaikan pandangannya soal potensi kemelut tersebut pada CEO Google ketika itu, Eric Schmidt, dan Direktur Google Ideas Jared Cohen.

Menurut dia, ketika segala sesuatu menjadi semakin terbuka, yang terbentuk kemudian adalah kompleksitas. Itu dikarenakan begitu banyak orang—dan  entitas—justru bisa menyembunyikan apa yang sejatinya mereka lakukan dalam kompleksitas (The New Digital Age, 2013).

Nilai kepercayaan

Pertanyaan yang perlu terus menerus ditanyakan oleh pelaku bisnis adalah seberapa nilai sebuah kepercayaan. Kesan dan sensasi mungkin bisa diciptakan dalam waktu relatif cepat, misalnya dengan iklan atau kampanye. Namun, kepercayaan bukan sesuatu yang dapat dibeli begitu saja.

Jenama (brand) produk yang diasosiasikan terpercaya, butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun reputasi dan kredibilitas. Sayangnya, disinformasi  mampu merusak reputasi suatu jenama dengan sangat cepat, bahkan hanya dalam hitungan jam.

Hal ini antara lain tergambar dalam laporan 2019 Brand Disinformation Impact Study oleh platform inteligen sosial New Knowledge yang melibatkan 1.500 konsumen di Amerika Serikat. Ditemukan, 75 persen responden terpapar disinformasi tentang sejumlah jenama melalui media sosial.

Padahal, kepercayaan terhadap suatu jenama atau produsen adalah faktor penentu bagi mereka untuk melakukan transaksi bisnis. Setelah kehilangan kepercayaan pada suatu jenama, 42 persen responden mengatakan, butuh waktu tiga tahun bahkan lebih bagi jenama itu untuk kembali masuk dalam lingkar kepercayaan mereka.

----2019 Brand Disinformation Impact Study oleh New Knowledge menunjukkan, setelah sempat kehilangan kepercayaan pada suatu jenama atau perusahaan, konsumen butuh waktu untuk kembali percaya.

Dari sisi korporasi, ancaman disinformasi tergambar dalam Annual Fraud and Risk Survey oleh Kroll pada 2019-2020. Survei global ini dilakukan lembaga inteligen bisnis itu terhadap 588 perusahaan besar di 13 negara. Sejumlah 84 persen dari entitas bisnis itu merasa terancam oleh rumor atau hoaks yang dipicu media sosial.

Survei global yang khusus memotret pandangan korporasi tentang risiko media sosial tersebut  dibuat Kroll merespons semakin  banyaknya korporasi  menjadi korban kabar bohong yang terutama dihembuskan lewat media sosial. Beragam bentuk disinformasi ini memukul penjualan maupun nilai saham perusahaan di berbagai negara.

Pemberitaan Financial Times sebelum dirilisnya survei Kroll antara lain mencatat Metro Bank di Inggris harus berusaha keras meyakinkan nasabah setelah sahamnya merosot 11 persen pada Mei 2019. Ini akibat rumor yang beredar di media sosial bahwa bank itu bakal kolaps.

Awal 2019, manajemen investasi BlackRock di Amerika Serikat menjadi sasaran hoaks, seolah pucuk pimpinannya mengabarkan bahwa perusahaan ini berpotensi ditinggalkan oleh investor terbesarnya.

Contoh lain, Infibeam Avenue, perusahaan teknologi finansial di India, kehilangan 71 persen nilai pasarnya dalam satu hari pada 2018.  Kerusakan dalam satu hari ini semata karena oleh laporan palsu yang disirkulasikan melalui pesan whatsapp para trader.

-----Temuan 2018 CMO Council Study seperti dikutip dalam laporan "Protecting Brands from Malicious Misinformation"

Teknologi hanya alat

Rekomendasi yang disusun Harvard Business Review Analytic Services bertajuk Protecting Brands from Malicious Misinformation (2019) mengingatkan, di tengah tekanan disinformasi ini, masih banyak pemimpin korporasi yang terlalu mengandalkan kemampuan teknologi untuk mendeteksi konten merusak di ranah digital.

Pebisnis juga dinilai masih terlampau mengandalkan media online serta platform perusahaan sendiri untuk mengendalikan problem disinformasi.

Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan beragam perangkat lunak mungkin dapat menyingkirkan sebagian hoaks sebelum menyebar luas. Namun, studi Harvard ini menggarisbawahi bahwa, hanya manusia yang bisa benar-benar memahami nuansa, perbedaan subtil seperti dialek dan konteks kultural, yang bisa mengubah makna pesan. Hanya manusia yang bisa mengajari AI mengenali pelaku kejahatan informasi. Artinya, teknologi tetaplah sebatas alat.

AP PHOTO/JENNY KANE---Seorang pengguna iPhone yang menampilkan aplikasi jejaring sosial Facebook pada layarnya (AP Photo/Jenny Kane, File)

Opsi Strategi

Forbes Communications Council pada Agustus 2020 memublikasikan rumusan strategi bisnis yang dinilai bisa menjadi opsi solusi bagi pebisnis melawan serangan hoaks. Salah satu strategi penting adalah memiliki rencana respons yang jelas. Ini dilatari kesadaran bahwa entitas bisnis bisa menjadi target disinformasi kapan saja.

Rencana respons ini akan memampukan perusahaan bereaksi tepat dan cepat, karena memang hanya butuh hitungan jam untuk membuat hoaks jadi viral dan berdampak merusak. Kesiapan ini perlu ditopang upaya berkelanjutan serta  konsisten untuk membangun kepercayaan publik pada korporasi, bahkan ketika seolah tak ada ancaman mengintai.

Korporasi memang dituntut selalu memantau perbincangan dan pemberitaan terkait jenama mereka. Ketika ditemukan informasi yang menyesatkan, tentu perlu dibuat koreksi berdasarkan fakta dan data.

Tak kalah penting, koreksi juga perlu dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan terkait (stakeholders), termasuk yang diperhitungkan menjadi sumber disinformasi maupun yang mungkin terpapar disinformasi tersebut. Dalam banyak kasus, salah satu cara yang juga dinilai efektif dalam merespons narasi keliru adalah melalui testimoni konsumen barang atau jasa.

Prinsip transparansi tentu perlu selalu dijunjung. Dalam jangka waktu lebih panjang, transparansi adalah bagian dari upaya membangun kredibilitas korporasi dan kepercayaan.

Namun, berpegang pada data saja tidak cukup. Entitas bisnis juga perlu menunjukkan wujud nyata dari sikap empati.

“Audiens Anda perlu tahu bahwa Anda merasakan (emosi atau sentimen publik) yang sedang terjadi. Hati dan kepala harus berjalan beriringan,” ujar Joan P Hammel, praktisi strategi komunikasi bisnis yang menjadi salah satu anggota Forbes Communication Council.

Oleh  NUR HIDAYATI

Editor:   NUR HIDAYATI

Sumber: Kompas, 28 Juni 2021

No comments:

Post a Comment