Saturday, May 18, 2019

Puput Setyoko, Ikhtiar Subur Jamur Borobudur

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO----Puput Setyoko pendiri tempat usaha Jamur Borobudur di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (6/5/2021).

Jamur tak hanya mengubah hidup Puput Setyoko (29),. Jamur juga membuka harapan bagi banyak orang untuk hidup lebih sejahtera.

Bagi Puput Setyoko (29), jamur tak hanya mengubah hidupnya, tapi juga memberi jalan kesuburan bagi banyak warga. Jamur menjadi simbol harapan baru bagi masa depannya yang semula terasa kabur, akibat cacat bawaan buta warna. Melalui Jamur Borobudur, dia panggungkan jamur sebagai salah satu magnet wisata.

“Saya ingin Jamur Borobudur jadi salah satu ikon oleh-oleh dari kawasan Candi Borobudur,” ucapnya membuka percakapan, Kamis (6/5/2021). Sebagai putra daerah, Puput terdorong mengembangkan pariwisata Borobudur.

Semula, jamur tak lebih dari makanan kesukaan Puput, pemuda Dusun Jowahan, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, Jawa Tengah. Selepas SMK tahun 2010, dia menjadi operator teknis mesin tambang di salah satu daerah di Pulau Kalimantan. Hal itu sempat membuatnya terkungkung di zona nyaman.

“Bagi bujangan, mungkin enak kerja di tambang. Gaji besar, tak mikir kebutuhan lain. Tapi, melihat senior-senior saya, membuat saya miris. Sampai tua, mereka hidup jauh dari keluarga. Posisinya pun juga begitu-begitu saja,” kenang Puput.

Dia juga sadar punya cacat bawaan buta warna parsial. Pekerjaan di tambang pun diraihnya hanya berkat bantuan kerabat yang sudah punya jabatan di perusahaan tersebut. Pada tahun ketiga, dia pun berhenti setelah tak lolos medical check up.

Akhirnya, dia pulang kampung ke Borobudur pada 2013 dengan kondisi galau. Sempat melamar kerja ke sejumlah tempat, dia selalu gagal akibat kekurangan fisiknya. Suramnya masa depan sudah membayanginya.

Lantas, dia pun teringat makanan kesukaannya, jamur. Saat masih bekerja di Kalimantan, dia selalu minta dimasakkan olahan jamur oleh sang ibu. Dia pun mulai mencari ilmu budidaya jamur. “Saya berguru ke maa-mana. Ke beberapa pembudidaya di Magelang, Temanggung, hingga Wates (Kulon Progo),” ujarnya.

Dengan sepeda motor, dia bolak-balik mencari ilmu. Puput beruntung, orang-orang yang didatanginya tak pelit ilmu, bahkan mendorongnya untuk juga membudidaya jamur. Dengan modal Rp 2 juta, dia mulai memroduksi jamur dengan membeli baglog (media tanam) dari pembudidaya lain.

“Panen pertama, saya bawa 750 gram jamur tiram ke pasar Borobudur. Saya jadikan tiga bungkus. Setiap bungkus laku Rp 2.000. Saya pulang bawa Rp 6.000,” kenangnya, sembari tertawa kecil.

Saat itu, ia sempat senang sekaligus gemang. Senang karena mengerti bahwa pasar jamur di daerah Magelang masih terbuka luas. Tapi juga gamang, jika membandingkan hasil usaha menanam jamur tak sebanding dengan gaji yang diterimanya saat masih bekerja di tambang.

“Tapi lantas saya ambil positifnya. Lagipula, tak ada pilihan kembali. Saya harus berhasil di usaha jamur,” ucap Puput kala itu.

Akhirnya, sekitar 2015, Puput mulai bisa membuat baglog. Seiring waktu, sejumlah tetangga kampung mulai belajar budidaya jamur ke rumahnya. Bahkan, beberapa orang dari luar Borobudur pun kerap ke rumahnya untuk belajar. Dia pun tak pelit ilmu dan menjadikan mereka sebagai mitra. Artinya, Puput menjamin membeli hasil jamur dari para mitra, tetapi tidak melarang jika mitranya tadi bisa menjual ke tempat lain dengan harga lebih tinggi.

Di sini tantangan mulai menghadang. Membuat baglog, tak semudah membudidayakan jamur. Lebih banyak risiko gagal. Bahkan, dia pernah rugi lebih dari Rp 10 juta saat ribuan baglog yang dijual ke mitranya, gagal berproduksi. Selain rugi uang dan tenaga, kerusakan baglog akan mengurangi kepercayaan mitra terhadapnya.

Seiring pesanan baglog yang mulai meningkat, dia mulai mempekerjakan seorang karyawan. Puput juga mengubah upaya promosi dan pemasaran dengan mengunggah foto-foto produknya di media sosdial. Dari situlah permintaan terus bertambah. Dalam sehari dia bisa memproduksi 600 baglog. Satu baglog menghasilkan 3-3,5 ons jamur.

Wisata

Persentuhan Puput dengan sektor wisata dimulai akhir 2016, saat dia memperluas usaha budidaya jamur dengan membuat makanan olahan. Namun, diakuinya, mengolah jamur menjadi makanan siap saji tak semudah yang dibayangkan. Usaha ini baru berhasil setelah dia menikah dengan istrinya, Isna Yuliani pada 2017. Istrinya yang kemudian fokus mengolah dan mengembangkan aneka penganan berbahan jamur.

Setelah setahun, mereka akhirnya mampu menemukan resep yang tepat untuk membuat keripik, dan terus mengembangkan aneka makanan lain. Dengan label Jamur Borobudur, Puput memroduksi keripik, bakso, hingga rendang jamur.

Perlahan, Jamur Borobudur kian dikenal masyarakat. Apalagi, rumah yang sekaligus tempat produksi milik Puput di Dusun Jowahan, makin ramai dikunjungi tamu. Mulai dari mahasiswa dan warga yang ingin belajar budidaya jamur, kelompok tani, hingga tamu dari kalangan wisatawan.

Untuk tamu pelancong, Puput memanfaatkan jaringan ayahnya yang seorang jusir andong wisata di kawasan candi. Tamu-tamu yang dibawa ayahnya dan rekan-rekan kusir andong wisata lain tersebut ditawari untuk melihat proses budidaya jamur. Ternyata, respons pengunjung sangat positif.

“Wisatawan dengan andong makin ramai. Biasanya, mereka saya ajak melihat pembuatan media tanam terlebih dulu, hingga penyimpanan jamur, lalu berakhir dengan melihat proses pembuatan dan mencicipi aneka camilan berbahan jamur,” ujar Puput.

Dari hanya bertani, Puput mulai belajar soal pariwisata. Ia lalu bergabung dengan komunitas wisata di kawasan Borobudur untuk menimba pengalaman dan memperkuat jaringan. “Saya ingin menjadikan jamur sebagai salah satu ikon kuliner Borobudur,” tutur dia.

Puput juga mulai memperkuat promosi Jamur Borobudur melalui media sosial, mulai dari facebook hingga instagram. Adapun penjualan produk mulai diperluas melalui lokapasar (marketplace). Kini, pemesanan aneka keripik jamur sudah menjangkau Aceh, Kalimantan, hingga Sulawesi.

Edukasi

Meski hampir 60 persen omzetnya berasal dari penjualan oleh-oleh, Puput selalu bersemangat setiap kali diminta untuk berbagi ilmu budidaya jamur. Apalagi, dua tahun terakhir, ia telah berhasil membuat benih jamur. Selain wisata edukasi bagi para tamu, Puput juga kerap diminta berbagi ke sejumpah kelompok tani. Tidak hanya di Magelang, tetapi juga luar daerah.

Sebelum pandemi Covid-19, ia juga rutin membagi ilmu soal budidaya maupun kewirausahan ke sejumlah sekolah. Bahkan, ada juga beberapa orang dari luar Jawa, mengontaknya langsung untuk belajar budidaya jamur. “Pernah ada dari Aceh datang ke Magelang, menginap beberapa hari di rumah saya untuk belajar budidaya jamur. Saya juga membimbingnya sampai bisa,” ujar Puput.

Ia teringat dengan kebaikan para senior pembudidaya jamur yang mengajari dan menyemangatinya saat awal dulu merintis usaha. Untuk itu, Puput merasa mesti membalasnya dengan terus berbagi ilmu kepada banyak orang.

Terlebih, sejak pandemi melanda, makin banyak orang datang ingin belajar budidaya jamur dan membeli baglog. Hal itu dampak kebijakan aktivitas kerja yang mulai banyak dilakukan di rumah, dan juga pengurangan karyawan serta pemutusan hubungan kerja. “Banyak yang belajar ke sini adalah para TKI, karyawan yang dirumahkan, dan korban-korban PHK,” ujarnya.

Kiprah Puput membuat tokoh pengusaha Sandiaga Uno dua kali mengunjunginya. Satu kali sebelum pandemi, dan sekali saat pandemi. Tak ketinggalan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang beberapa bulan lalu mengunjungi rumahnya di sela-sela kunjungan ke Borobudur. Ia yang kini punya 10 karyawan, masih punya angan, membuat rumah makan olahan jamur untuk jujugan pelancong.

Bermula dari dirinya sendiri, Puput telah memberikan gambaran kepada banyak orang bahwa jamur juga bisa menjadi sandaran hidup. Jamur menjadi sarana promosi Borobudur, sekaligus berbagi ilmu kepada banyak orang.

Puput Setyoko

Lahir:  Borobudur, 22 Juli 1991

Istri: Isna Yuliani (27)

Anak: Aruna Jennaira (3)

Oleh  GREGORIUS MAGNUS FINESSO/REGINA RUKMORINI

Editor:   BUDI SUWARNA

Sumber: Kompas, 17 Mei 2021

No comments:

Post a Comment