Saturday, October 19, 2019

Menambah Nilai Singkong

KOMPAS/DEFRI WERDIONO-Yosea Suryo Widodo menunjukkan tiwul dan gatot instan produksinya.

Lebih dari 20 tahun Yosea Suryo Widodo (40) mengangkat singkong, yang saat itu dipandang sebelah mata, jadi bernilai tambah. Romantisisme makanan tradisional berpadu dengan nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar.

Romantisisme makanan tradisional hasil olahan singkong itu menyeruak, misalnya dalam sebuah pameran di Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Stan Yosea diserbu undangan. Setelah Yosea menjelaskan cara mengolah makanan tradisional dari bahan baku singkong, gatot dan tiwul instan langsung ludes diborong.


Salah satu cara mengenalkan makanan tradisional berbahan baku singkong dilakukan Yoses melalui pameran. Padahal, sebenarnya, produk gatot dan tiwul instan bermerek ”Uwenak” itu sudah menjangkau sejumlah daerah.

Produk itu dijual banyak penjual kembali atau reseller, termasuk toko oleh-oleh di Malang dan di kota-kota lain, seperti Yogyakarta, Palangkaraya, dan Batam.

”Selain toko, ada 20-an agen yang tersebar di sejumlah kota. Toko oleh-oleh di Malang dan tempat wisata banyak sekali,” ujar Yosea.

Selain di dalam negeri, Yosea juga rutin mengirim produknya ke Hong Kong, Malaysia, dan Belanda. Di Hong Kong, lima tahun terakhir, tiwul dan gatot itu dijual lagi di toko yang khusus menjajakan produk Indonesia. Pasarnya, warga Indonesia yang bekerja di Hong Kong.

”Kalau di Belanda, tiwul dan gatot dijual dalam bentuk siap saji. Banyak orang Belanda suka makanan Indonesia, mungkin karena mereka ingin bernostalgia. Di sana, tiwul dan gatot dijual 8 euro (atau sekitar Rp 125.000) per porsi. Padahal, di tempat saya harganya Rp 10.000 dan di toko harganya Rp 15.000 untuk satu kemasan berukuran 400 gram,” tuturnya.

Yosea mengolah tiwul dan gatot secara tradisional, mulai dari pengupasan bahan baku sampai pengemasan. Setiap hari, ia membutuhkan rata-rata 8-10 kuintal singkong, tergantung kondisi cuaca. Pada saat cuaca panas terik, singkong yang diolah bisa lebih banyak dibandingkan ketika mendung atau musim hujan.

Agar produknya awet, pria yang mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah atas itu menggunakan bahan-bahan alami, seperti gula dan garam. Adapun untuk menambah rasa, ia menggunakan daun pandan dan gula merah. Sejauh ini, baru ada empat varian rasa untuk tiwul dan satu untuk gatot.

”Saya masih fokus ke situ saja dulu. Belum menambah varian karena permintaan pasar terus meningkat,” katanya.

Penerima penghargaan ”Parasamya Kertanugraha” dari Gubernur Jawa Timur Soekarwo kategori Wirausaha Muda 2009 ini mulai menggeluti tiwul dan gatot instan sejak 1994. Namun, saat itu ia masih membantu usaha orangtuanya, Sriyono (71), yang tinggal di Pagak, Kabupaten Malang. Yosea baru benar-benar mengambil alih kemudi usaha pada 2000.

KOMPAS/DEFRI WERDIONO--Yosea Suryo Widodo menunjukkan tiwul dan gatot instan produksinya.

Pagak merupakan salah satu daerah di Malang selatan yang kondisi wilayahnya berbukit dan kering. Selain tebu, di kawasan itu juga ada banyak lahan singkong saat kemarau tiba.

Harga singkong yang tidak menentu dan selalu rendah ketika panen membuat keluarga Yosea mencoba mencari cara untuk menaikkan harga komoditas itu. Kebetulan, ada anggota keluarga yang bisa membuat tiwul dan gatot. Maka, mereka mulai merintis usaha keluarga dengan produksi gatot lebih dulu, disusul tiwul. Akan tetapi, masih dalam bentuk konvensional.

”Saat itu konsumen ingin agar gatot dan tiwul bisa dibawa ke luar kota. Ada pertanyaan dari mereka, apakah tidak bisa diinstankan? Akhirnya kami mencoba membuat. Kami butuh waktu satu tahun, baru ketemu formulanya. Hal itu terjadi pada 1995/1996,” tutur Yosea yang meraih Juara I Lomba ”Olahan Pascapanen dan Pengolahan Hasil” tingkat Jawa Timur tahun 2012 ini.

KOMPAS/DEFRI WERDIONO--Yosea Suryo Widodo menunjukkan tiwul dan gatot instan produksinya.

Tidak mudah
Awal mula membuat tiwul dan gatot instan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, belum ada orang-orang di sekitar Pagak dan Malang yang membuat kedua jenis makanan itu dalam bentuk instan. Yang ada hanya empok (nasi jagung).

Berbagai upaya dan mencoba-coba cara membuat tiwul dan gatot instan mulai membuahkan hasil. Meskipun demikian, prosesnya tidak mudah dan cukup lama. Sebab, saat itu informasi di internet tidak sebanyak sekarang. Bahkan, akses internet juga tidak selancar saat ini.

KOMPAS/DEFRI WERDIONO--Yosea Suryo Widodo menunjukkan tiwul dan gatot instan produksinya.

Setelah berhasil, keluarga Yosea mulai menawarkan produk tersebut ke pasaran, namun belum terpetakan. Baru setelah tahun 2000, Yosea memasarkan ke sejumlah desa dan kota. Ternyata, warga desa yang biasa makan tiwul dan gatot tidak merespons. Apalagi, masyarakat kota pada awalnya menolak dan menganggap gatot dan tiwul instan sebagai makanan aneh karena tidak terbiasa.

Yosea harus keluar-masuk toko untuk menitipkan produk tersebut dengan janji akan menarik kembali jika dalam waktu satu bulan tidak laku. Semula, pihak toko membatasi hanya lima bungkus. Akan tetapi, belakangan, respons konsumen kian membaik. Produk yang diitipkan itu ludes dalam waktu singkat sehingga permintaan dari toko makin banyak.

Akhirnya, Yosea membatasi pasokan ke toko dengan alasan produksi yang masih terbatas. Ia pun mengetahui bahwa pangsa pasar produk ini adalah kaum menengah-atas. Yosea juga harus mengganti merek hingga tiga kali sebelum akhirnya menjadi ”Uwenak”. Begitu pula varian rasa baru dikembangkan setelah tahun 2000.

”Semula tidak kepikiran soal merek. Saat berdiri, kami memberi label ‘Gatot Tiwul Heboh’. Ternyata dalam proses Hak Atas Kekayaan Intelektual tidak boleh pakai nama ‘Heboh’. Terus bikin merek ‘Eco’ (enak), namun sudah ada produk yang memakai nama itu. Akhirnya, sejak 2016 kami memakai nama ‘Uwenak’ meski sampai sekarang yang terkenal masih nama ‘Gatot Tiwul Heboh’,” ujar Yosea.

Dalam proses produksi, Yosea—yang pernah menerima Trofi Adhikarya Pangan Nusantara di Istana Negara dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 2012—tidak sendiri. Ia mengajak tetangganya sebagai mitra membuat gatot. Namun, khusus tiwul, ia membuatnya sendiri.

Dengan kegiatan itu, tetangganya memperoleh pendapatan tambahan hingga Rp 5 juta per bulan.

Menurut Yosea, kendala yang dihadapi saat menggeluti usaha makanan tradisional berbahan singkong adalah suplai bahan baku. Di musim kemarau, singkong melimpah. Namun, sebaliknya, pada musim hujan, pasokan singkong terbatas.

Namun, Yosea meyakini, upayanya bergelut dengan makanan tradisional akan membantu menjaga pendapatan petani karena singkongnya dibeli secara rutin. Secara tidak langsung, petani juga didorong untuk menghasilkan singkong berkualitas baik.

KOMPAS/DEFRI WERDIONOTiwul dan gatot instan produksi Yosea Suryo Widodo

Oleh  DEFRI WERDIONO

Sumber: Kompas, 19 Oktober 2019

2 comments:

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    ReplyDelete
  2. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    ReplyDelete